Senin, 23 Juni 2014

Psikologi Pendidikan

A.    SEJARAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Psikologi pendidikan muncul sejak zaman Aristoteles. Seorang filsuf besar Yunani yang hiduppada 382 SM - 322 SM. Ia telah menyusun periode perkembangan anak, sifat anak menurutperiodenya dan pendidikan yang perlu diberikan.Namun pemikirannya cenderung ke bidang filsafat, belum merupakan hasil dari pemikiran ilmupsikologi pendidikan.Psikologi pendidikan secara ilmiah baru diteliti akhir-akhir abad ini, misal di akhir abad 19.Ebbinghaus telah meneliti aspek daya ingat dalam proses pendidikan di Eropa. Kemudian padaawal abad ke 20, pemerintah Perancis menunjuk seorang psikolog, Alfred Binet, dan dibantuTheodore Simon untuk mengetahui aspek psikologis yang berkaitan dengan faktor penyebab menurunnya  prestasi pelajar pada masa itu. Mereka menyusun sejumlah tes yang dikenaldengan tes intelegensi Binet-Simon.  Ada beberapa perintis psikologi pendidikan :
William James. Dia adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang terkenal sebagai salah seorang pendiri Mazhab Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, James juga terkenal sebagai seorang psikolog. Setelah belajar ilmu kedokteran di Univ.  Harvard, ia belajar psikologi di Jerman danPerancis. Kemudian ia mengajar di Universitas Havard untuk bidang anatomi, fisiologi, psikologi, dan filsafat, hingga tahun 1907. Tak lama setelah meluncurkan buku ajar pikologinya yang pertama, yang pertama, principles of psychology, William James memberikan serangkaian kuliah yang bertajuk “talks to Teacher”. Dalam kuliah ini dia mendiskusikan aplikasi psikologi untuk mendidik anak. James mengatakan bahwa eksperimen psikologi di laboratorium sering kali tidak bisa menjelaskan kepada kita bagaimana cara mengajar anak secara efektif. Dia menegaskan pentingnya mempelajari proses belajar dan mengajar di kelas guna meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu rekomendasinya adalah mulai mengajar pada titik yang sedikit lebih tinggi di atas tingkat pengetahuan dan pemahaman anak dengan tujuan memperluas cakrawala pemikiran anak.

John Dewey. Dia adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang termasuk Mazhab Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang  pendidikan.   Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas. Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700-an artikel. Dia menjadi motor penggerak untuk mengaplikasikan psikologis di tingkat praktis. Banyak ide penting lahir dari pemikiran John Dewey. Pertama, kita mendapatkan pandangan tentang anak-anak sebagai pembelajar aktif. Pemikiran yang kedua dari Dewey adalah bahwa pendidikan seharusnya di fokuskan pada anak secara keseluruhan dan memperkuat kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungannya, ia percaya bahwa anak-anak seharusnya tidak hanya mendapat pelajaran akademik saja, tetapi juga harus di ajari cara untuk berpikir dan dan beradaptasi di luar sekolah sehingga anak-anak mampu memecahkan masalah secara reflektif.



E.L Thorndike. Edward Lee “Ted” Thorndike (31 Agustus 1874 – 9 Agustus 1949) adalah seorang psikolog Amerika yang menghabiskan hampir seluruh karirnya di Teachers College, Columbia University. Dia adalah anggota dewan Corporation Psikologis, dan menjabat sebagai presiden American Psychological Association pada tahun 1912. Thorndike member banyak perhatian pada penilaian dan pengukuran serta perbaikan dasar-dasar belajar secara ilmiah. Thorndike berpendapat bahwa salah satu tugas pendidikan di sekolah adalah yang paling penting adalah menanamkan keahlian penalaran anak. Ia mengajukan gagasan bahwa psikologi pendidikan harus punya basis ilmiah dan harus berfokus pada pengukuran.

B.     MENGAJAR DAN MANAJEMEN KELAS
Manajemen kelas merupakan bagian integral pengajaran efektif yang mencegah masalah perilaku melalui perencanaan, pengelolaan, dan penataan kegiatan belajar yang lebih baik, pemberian materi pengajaran yang lebih baik, dan interaksi guru siswa yang lebih baik, membidik pada pengoptimalan keterlibatan dan kerjasama siswa dalam belajar. Teknik kontrol perilaku atau pendisiplinan pada akhirnya akan tidak terlalu efektif karena teknik tersebut tidak mendorong perkembangan disiplin diri atau tanggung jawab anak sendiri atas tindakannya. Nilai-nilai dan ketrampilan sosial harus diajarkan dan dicontohkan oleh guru.
Seorang pendidik atau guru perlu menguasai banyak faktor yang mempengaruhi motivasi, prestasi dan perilaku siswa mereka. Lingkungan fisik di kelas, level kenyamanan emosi yang dialami siswa dan kualitas komunikasi antar guru dan siswa merupakan faktor penting yang bisa memampukan atau menghambat pembelajaran yang optimal. Guru bertanggung jawab untuk berbagai siswa, termasuk mereka dari keluarga yang tidak mampu atau kurang beruntung, siswa yang mungkin harus bekerja setelah sekolah, atau mereka yang berasal dari kelompok minoritas etnis, agama atau bahasa atau mereka dengan berbagai kesulitan atau kecacatan belajar. Tak satupun dari situasi atau faktor ini harus menyebabkan masalah pendidikan, namun anak-anak ini mungkin beresiko mendapatkan pengalaman sekolah yang negatif dan tak bermakna jika guru tidak responsif terhadap kebutuhan dan kemampuan mereka atau mampu menggunakan pengajaran dan strategi kelas yang efektif dan disesuaikan menurut individu. Pengelolaan kelas ( classroom management ) berdasarkan pendekatan menurut Weber diklasifikasikan kedalam dua pengertian, yaitu :
-          berdasarkan pendekatan otoriter, pengelolaan kelas adalah kegiatan guru untuk mengkontrol tingkah laku siswa, guru berperan menciptakan dan memelihara aturan kelas melalui penerapan disiplin secara ketat ( Weber )
Bagi sekolah atau guru yang menganut pendekatan otoriter, maka dalam mengelola kelas guru atau sekolah tersebut menciptakan iklim sekolah dengan berbagai aturan atau ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh warga sekolah/ kelas. Walaupun menggunakan pendekatan otoriter, berbagai aturan yang dirumuskan tentu saja tidak hanya didasarkan pada kemauan sepihak dari pengelola sekolah /kelas saja, melainkan dengan memasukan aspirasi dari siswa. Hal ini penting mengingat aturan yang dibuat diperuntukan bagi kepentingan bersama, yaitu untuk menunjang terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
-          Kedua pendekatan permisif mengartikan pengelolaan kelas adalah upaya yang dilakukan oleh guru untuk memberi kebebasan untuk siswa melekukan berbagai aktivitas sesuai dengan yang mereka inginkan. Pengertian kedua ini tentu saja bertolak belakang dengan pendapat pertama. Menurut pandangan permisif, fungsi guru adalah bagaimana menciptakan kondisi siswa merasa aman untuk melakukan aktivitas di dalam kelas, tanpa harus merasa takut dan tertekan. Komponen-Komponen Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas dilakukan untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih berkualitas. Oleh karena itu pendekatan atau teori apapun yang dipilih dan yang dijadikan dasar dalam pengelolaan kelas, harus diorientasikan pada terciptanya proses pembelajaran secara aktif dan produktif. Untuk mendukung proses pembelajaran tersebut, maka unsur-unsur pengelolaan meliputi dua tindakan, yaitu :
a.       Preventif , yaitu upaya yang dilakukan oleh guru untuk mencegah terjadinya gangguan dalam pembelajaran. Mencegah lebih baik dari pada mengobati. . Implikasi bagi guru melalui kegiatan preventif ini yaitu sedini mungkin guru mengidentifikasi hal-hal atau gejala-gejala yang dianggap akan mengganggu pembelajaran
Beberapa upaya atau keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang guru untuk mendukung terhadap tindakan prteventis antara lain ;
1. Tanggap /peka, sikap tanggap ini ditunjukan oleh kemampuan guru secara dini mampu dengan segera merespon terhadap berbagai perilaku atau aktivitas yang di anggap akan mengganggu pembelajaran atau berkembangnya sikap maupun sifat negatif dari siswa maupun lingkungan pembelajaran lainnya
2. Perhatian yaitu selalu mencurahkan perhatian pada berbagai aktivitas, lingkungan maupun segala sesuatu yang muncul. Perhatian merupakan salah satu bentuk keterampilan dan kebiasaan yang harus dimiliki oleh guru.
b.      Refrensif, keterampilan refrensif tidak diartikan sebagai tindakan kekerasan seperti halnya penanganan dalam gangguan keamanan. Keterampilan refrensif sebagai salah satu unsur dari keterampilan pengelolaan kelas
c.       Modifikasitingkahlaku
• Modifikasi tingkah laku yaitu bahwa setiap tingkah laku dapat diamati. Oleh karena itu bagaimana dengan tingkah laku yang muncul dengan positif, guru memberi respon positif agar kebiasaan baik itu lebih kuat dan dapat dipelihara
• Pengelolaan kelompok, untuk menangani permasalahan hendaknya dilakukan secara kolaborasi dan mengikutsertakan beberapa komponen atau unsur yang terkait
• Diagnisis yaitu suatu keterampilan untuk mencari unsur-unsur yang akan menjadi penyebab gangguan maupun unsur-unsur yang menjadi kekuatan bagi peningkatan proses pembelajaran manajemen kelas merupakan usaha sadar untuk mengatur kegiatan proses belajar mengajar secara sistematis. Usaha sadar itu mengarah kepada penyiapan bahan belajar, penyiapan sarana dan alat peraga, pengaturan ruang belajar, mewujudkan situasi dan kondisi proses belajar mengajar dan pengaturan waktu sehingga pembelajaran berjalan dengan baik dan tujuan kurikuler dapat tercapai
Manajemen kelas bertujuan untuk:
1. Mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik sebagai lingkungan belajar maupun sebagai kelompok belajar, yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin,
2. Menghilangkan berbagai hambatan yang menghalangi terwujudnya interaksi pembelajaran,
3. Membantu murid menghabiskan Lebih banyak waktu untuk belajar dan mengurangi waktu aktiitas yang tidak diorientasikan pada tujuan.
4. mencegah murid mengalami problem akademik dan emosional.
Menyediakan dan mengatur fasilitas belajar serta perabot belajar yang mendukung dan memungkinkan siswa belajar sesuai dengan lingkungan sosial, emosional, dan intelektual siswa di dalam kelas, serta membina dan membimbing siswa sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, serta sifat-sifat individunya. Ladan bagi peserta didik dalam melakukan disiplin di kelas. Dalam membina disiplin kelas dengan pendekatan dalam melakukan aktivitas manajemen kelas untuk pembinaan disiplin kelas yang berbasis psikologi pendidikan, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan otoriter, pendekatan permisif, pendekatan intruksional, pendekatan pengubahan perilaku, pendekatan sosiol emosional, dan pendekatan proses kelompok.
Aspek, Fungsi dan Manajemen Kelas
     Aktivitas guru yang terpenting adalah memanajemeni, mengorganisir, dan mengkoordinasikan usaha atau aktivitas peserta didik menuju tujuan pembelajaran. Didalam manajemen kelas ada aspek yang perlu diperhatikan yaitu sifat kelas, pendorong kekutan kelas, situasi kelas, tindakan selektif dan kreatif.
     Dalam manajemen kelas ada konsep dasar yang perlu dicermati yaitu penempatan individu, kelompok, sekolah dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Manajemen kelas memberi makna penting bagi tercipta dan terpeliharanya kondisi kelas yang optimal, fungsi manajemen kelas yaitu:
1. Memberi dan melengkapi fasilitas untuk segala macam tugas seperti membantu kelompok dalam pembagian tugas, membantu pembentukan kelompok, membantu individu agar dapat bekerja sama dengan kelompok atau kelas, membantu prosedur kerja, merubah kondisi kelas.
2. Memelihara agar tugas-tugas dapat berjalan lancar.
Manajemen kelas merupakan unsur pendidikan yang biasanya dijadikan perhatian utama oleh para guru, baik itu baru, maupun guru yang telah berpengalaman. Alasannya sederhana, karena para guru yang telah berpengalaman dapat mengajar peserta didiknya dengan optimal. Dengan artian bahwa para guru dapat mengajar/menyampaian bahan pelajaran yang dapat dan mudah dimengerti oleh para peserta didik dengan baik.
Manejemen kelas merupakan serangkaian perilaku guru dalam upaya menciptakan dan memelihara kondisi kelas yang memungkinkan peserta didik belajar untuk mencapai tujuan belajarnya secara efisien, atau memungkikan peserta didik belajar dengan baik.

C.    PENERAPAN PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN
1.      Kognisi
Konsep kognitif (dari bahasa Latin cognosere, “ untuk mengetahui” atau “untuk mengenali”) merujuk kepada kemampuan untuk memproses informasi, menerapkan ilmu, dan mengubah kecenderungan (Nehlig, 2010). Kognisi juga adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu.
Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi. Bidang ilmu yang mempelajari kognisi beragam, di antaranya adalah psikologi, filsafat, dan lain-lain.
Kepercayaan/ pengetahuan seseorang tentang sesuatu dipercaya dapat mempengaruhi sikap mereka dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku/ tindakan mereka terhadap sesuatu. mengubah pengetahuan seseorang akan sesuatu dipercaya dapat mengubah perilaku mereka. Gejala kognisi meliputi:
-          Pengamatan
Pengamatan adalah aktivitas yang dilakukan seseorang yang cerdas, terhadap suatu proses atau objek dengan maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan suatu penelitian. Dipandang dari segi arti menunjukan hal yang sangat berbeda
-          Tanggapan
Yaitu suatu bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan. Tanggapan dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
§  Tanggapan masa lampau atau tanggapan ingatan
§  Tanggapan masa datang atau tanggapan mengantisipasikan
§  Tanggapan masa kini atau tanggapan representative (mengimajinasikan)
-          Ingatan
Proses dari mengingat adalah menyimpan suatu informasi, mempertahankan dan memanggil kembali informasi tersebut.
-          Fantasi
Fantasi itu dilukiskan sebagai fungsi yang memungkinkan manusia untuk berorientasi dalamalam imajinasi melampaui dunia riil.
-          Berpikir
Berfikir merupakan proses dinamis yang dapat dilukiskan dengan proses atau jalannya.
-          Intuisi
Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas

2.      MOTIVASI
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya:
·         durasi kegiatan.
·         frekuensi kegiatan.
·         persistensi pada kegiatan.
·         ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan.
·         devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan.
·         tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan.
·         tingkat kualifikasi prestasi atau produk yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan.
·         arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Beberapa teori tentang motivasi, antara lain :
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :
·         kebutuhan fisiologikal (physiological needs)
seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex
·         kebutuhan rasa aman (safety needs),  tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga
mental, psikologikal dan intelektual.
·         kebutuhan akan kasih sayang (love needs)
·         kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status
·         aktualisasi diri (self actualization),
Kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Teori klasik Maslow pun semakin sering dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami koreksi. Penyempurnaan atau koreksi tersebut diarahkan kepada konsep hierarki kebutuhan  yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah hierarki dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya  ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi.
Berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
·         Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang
·         Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
·         Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
teori Maslow tentang kebutuhan ini lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fondasi dan mendalami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan selanjutnya yang lebih bersifat aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi.. McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :
-          Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat
-          Menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran
-          Menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan).
Teori Alderfer menjelaskan bahwa:
·         Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya.
·         Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan.
·         Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Dan beberapa teorinya lainnya, akan tetapi faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah :
·         jenis dan sifat pekerjaan
·         kelompok kerja dimana seseorang bergabung
·         organisasi tempat bekerja
·         situasi lingkungan pada umumnya
·         sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
3.      SOSIOEMOSIONAL
A.      Pengertian dari sosio-emosional.
Sosio berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan. Emosional berasal dari kata emosi menurut English and English, Emosi adalah “ A complex feeling state accompanied by characteristic motor and glandural activies ” ( Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris).
            Di dalam emosi bayi terdapat beberapa macam emosi yaitu: Emosi positif dan  emosi negatif.
a)    Contoh emosi positif pada bayi: rasa senang, antusiasme, cinta.
b)    Contoh emosi negatif pada bayi: rasa cemas, marah, rasa bersalah, rasa sedih.

B.       Tahap-Tahap Perkembangan Sosio-Emosional
            Pada tahap perkembangan emosi awal, pembagian emosi diklasifikasikan menjadi 2:
·         Emosi Primer, muncul pada manusia dan juga binatang. Yang termasuk dalam emosi primer ini adalah terkejut, tertarik, senang, marah, sedih, takut, dan jijik. Semua emosi ini muncul pada usia enam bulan pertama.
·         Emosi yang disadari (self-concious emotions), yang memerlukan kognisi, terutama kesadaran diri. Yang termasuk dalam jenis ini adalah empati, cemburu, dan kebingungan yang muncul pada 1,5 tahun pertama (setelah timbulnya kesadaran diri), selain itu ada juga bangga, malu, dan rasa bersalah yang mulai muncul pada 2,5 tahun pertama.

Berikut adalah bagan awal kemunculan dari berbagai emosi:
Emosi Primer
3 bulan
Senang
Sedih
Jijik
2-6 bulan
Marah
6 bulan pertama
Terkejut
6-8 bulan
Takut- mencapai puncaknya pada usia 18 bulan

Emosi yang Disadari
1,5-2 tahun
Empati
Cemburu
Kebingungan
2,5 tahun
Kebanggaan
Malu
Rasa bersalah

1.        Masa Bayi
            Bentuk komunikasi emosional awal dari bayi:
a.     Tangisan
                  Menangis adalah mekanisme penting yang dimiliki oleh anak yang baru lahir untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Tangisan pertama dari bayi menunjukkan bahwa paru-parunya sudah terisi udara. Tangisan juga memberi informasi mengenai sistem saraf pusat bayi. Ada tiga jenis tangisan bayi:
1)      Tangisan biasa: pola ritmis yang biasanya terdiri dari tangisan, diikuti oleh periode diam yang singkat, diikuti oleh desisan singkat lalu tangisan bernada lebih tinggi dari tangisan awal, lalu istirahat sejenak sebelum diikuti dengan set berikutnya. Beberapa ahli masalah bayi percaya bahwa rasa lapar adalah salah satu kondisi yang menyebabkan tangisan ini.
2)      Tangisan marah: beberapa variasi tangisan biasa dengan lebih banyak udara yang dipaksa melewati pita suara.
3)      Tangisan kesakitan: tangisan tiba-tiba yang keras dan panjang, diikuti dengan menahan nafas tidak ada rengekan awal sebelum tangisan ini. Biasanya disebabkan oleh stimulus dengan intensitas yang tinggi.

b.      Senyuman
        Tersenyum juga merupakan cara penting dari seorang bayi untuk mengomunikasikan emosi. Ada dua macam senyuman pada bayi:
       1)      Senyuman refleksif: senyuman yang tidak disebabkan oleh stimulus eksternal dan
             biasanya muncul pada masa 1 bulan awal sesudah kelahiran, biasanya pada saat tidur.
       2)      Senyuman sosial: senyuman yang muncul karena stimulus eksternal, biasanya adalah        
             wajah yang dilihat oleh bayi yang masih muda.
        Senyuman sosial belum muncul sampai usia 2-3 bulan, meskipun beberapa peneliti percaya bahwa bayi akan meringis sebagai respons terhadap suara yang didengar bahkan pada usia 3 minggu.
c.       Ketakutan
                    Ketakutan pada bayi ini biasanya mulai muncul pada usia 6 bulan dan mencapai puncaknya pada usia 18 bulan, ekspresi ketakutan yang paling sering muncul biasanya berkaitan dengan kecemasan terhadap orang asing (stranger anxiety), di mana seorang bayi menunjukkan ketakutan dan kegelisahan terhadap orang asing. Hal ini biasanya muncul secara bertahap. Pertama kali timbul sekitar usia 6 bulan dalam bentuk reaksi gelisah. Pada usia 9 bulan, ketakutan terhadap orang asing ini sering kali menjadi lebih intens dan terus meningkat sampai ulang tahun pertama bayi tersebut.
                    Tidak semua bayi menunjukkan kegelisahan ketika menghadapi orang asing. Selain perbedaan individual, konteks sosial dan karakteristik orang asing tersebut juga berpengaruh pada ketakutan bayi.
                    Ketika bayi merasa aman, mereka akan lebih tahan terhadap kecemasan terhadap orang asing. Bayi akan lebih berani berhadapan dengan orang asing jika mereka berada di lingkungan yang familiar. Selain itu, bayi akan lebih tidak menunjukkan kecemasan ketika mereka berada di pangkuan ibu mereka jika dibandingkan jika mereka duduk dalam jarak beberapa meter dari sang ibu.
                    Siapa dan bagaimana perilaku orang asing tersebut juga mempengaruhi kecemasan pada bayi. Bayi akan lebih cemas terhadap orang asing yang sudah dewasa jika dibandingkan orang asing yang masih anak-anak. Mereka juga akan berani berhadapan dengan orang asing yang menunjukkan sikap bersahabat, ramah, dan menunjukkan senyuman jika dibandingkan dengan orang asing yang pasif dan tidak tersenyum.
                    Selain kecemasan terhadap orang asing, bayi juga mengalami ketakutan akan berpisah dengan pengasuhnya. Hal ini akan menyebabkan separation protest-menangis ketika ditinggalkan oleh pengasuhnya. Permulaan Separation protest yang dilakukan oleh bayi berbeda-beda tergantung pada kebudayaan mereka serta sikap sensitif orang tua mereka terhadap sinyal yang mereka berikan. Penelitian terkini menunjukkan bahwa ibu dari bayi yang memiliki seperation protest yang tinggi adalah orang tua yang terlalu sensitif terhadap sinyal negatif dari bayi tetapi kurang sensitif terhadap sinyal positif dari bayi tersebut. Namun puncak separation protest yang dilakukan bayi adalah hampir sama di berbagai kebudayan, yaitu berkisar pada usia 13- 15 bulan.
                    Selain beberapa emosi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa bentuk komunikasi lain yang dilakukan oleh bayi untuk mengekspresikan emosinya, antara lain:
·         Marah
meliputi: menjerit, meronta-ronta, menendang, mengibaskan tangan, memukul, berguling-guling, meronta, serta menahan napas. Penyebabnya karena keinginannya dihalangi.
·         Rasa ingin tahu
dengan cara memegang benda-benda yang ingin diketahuinya.
·         Gembira
meliputi: tersenyum, tertawa, menggerak-gerakkan tangan dan kaki, serta berteriak-teriak dengan mata berbinar-binar. Penyebabnya karena ia diajak bercanda, digelitik, diajak main, serta mendapat benda atau permainan yang disenanginya.
·         Menyenangi sesuatu
meliputi memeluk, mendekap, menepuk-nepuk, serta mencium segala sesuatu yang disenanginya.
           
                    Ada pula beberapa reaksi yang dilakukan oleh bayi bila berhadapan dengan orang di sekitarnya, antara lain:

a.       Reaksi Sosial Bayi kepada Bayi Lain
Terdapat beberapa sikap yang dilakukan oleh bayi untuk mencoba menarik perhatian bayi lain, di antaranya adalah:
-          Bayi berumur 4-7 bulan melambungkan badan ke atas dan ke bawah, menendang,
       tertawa, bermain-main dengan ludah, tersenyum dengan bayi lain.
          -          Bayi berumur sekitar 9-13 bulan berusaha meremas baju dan rambut bayi lain,    
                 bermain-main bersama, walaupun kadang berebut mainan.
      -          Bayi berumur sekitar 13-24 bulan berebut mainannya sudah berkurang, mereka
             sudah lebih senang bekerja sama dalam bermain, sudah mau berbagi rasa dan
             melakukan hubungan sosial.

b.      Reaksi Sosial Bayi kepada Orang Dewasa
          -          Bayi berumur 2-3 bulan tampak tidak senang, terkadang menangis bila ditinggal
                  sendirian. Sebaliknya, ia akan senang, tersenyum bila didekati oleh seseorang,
                  siapapun orangnya.
          -          Bayi berumur sekitar 4-5 bulan ingin ditimang oleh siapa saja yang
                   mendekatinya. Selama itu, bayi mempelajari dan memperhatikan orang yang mendekat dan menghafalkan ciri-cirinya.  Hanya seseorang yang memiliki ciri yang menyenangkan yang berhasil mendekati sang bayi karena bayi akan takut bila didekati oleh seseorang yang memiliki ciri tidak menyenangkan.
                -          Bayi berumur sekitar 6-7 bulan hanya tertarik pada orang tertentu.
                      Bayi tidak hanya mengekspresikan emosi, namun juga membaca tanda emosi
                      dari orang lain. Referensi sosial adalah cara membaca petunjuk emosional
                      dari orang lain sebagai referensi bagaimana berperilaku dalam situasi
                      tertentu.
                    Perkembangan dalam aspek referensi sosial ini membantu bayi menginterpretasikan situasi ambigu secara lebih akurat- misalnya ketika mereka berhadapan dengan orang asing- apakah mereka harus merasa takut atau tidak terhadap orang tersebut.
                     Kemampuan melakukan referensi sosial ini akan berkembang dengan lebih baik pada tahun kedua. Di usia ini, mereka cenderung untuk “mengonfirmasi” ibu mereka sebelum mereka melakukan sesuatu; mereka melihat apakah ibu mereka terlihat senang, marah, atau takut.
              Selain itu, dalam kurun waktu satu tahun pertama, bayi mulai mengembangkan kemampuan untuk menahan atau mengurangi intensitas dan durasi reaksi emosional. Dari masa awal kehidupannya, bayi sudah bisa meletakkan jempol dalam mulut untuk menenangkan dirinya. Meskipun begitu, biasanya bayi tetap bergantung kepada pengasuhnya untuk menenangkan reaksi emosi yang dirasakannya, terutama di masa awal kehidupan, seperti dengan mengayun-ayunkan bayi ketika menidurkan, menyanyikan lagu nina bobo, membelai-belai, dan lain sebagainya. Para ahli perkembangan percaya bahwa akan sangat baik untuk menenangkan bayi sebelum keadaan emosinya menjadi terlalu intens, terguncang, dan tidak terkontrol.
                    Pada periode berikutnya, ketika seorang bayi merasakan rangsangan emosi tertentu, mereka kadang-kadang mengalihkan atau memecah atensi mereka untuk mengurangi rangsangan tersebut. Pada usia 2 tahun, seorang balita sudah mampu menggunakan bahasa untuk menjelaskan keadaan emosi dan konteks situasi yang mengganggu mereka. Seorang balita mungkin akan berkata “Takut. Anjing galak”. Jenis komunikasi seperti ini akan membantu pengasuh dalam membantu anak mengatur emosi mereka.
                   Konteks juga dapat mempengaruhi pengaturan emosi. Bayi akan sangat mudah terpengaruh oleh kelelahan, rasa lapar, waktu, orang-orang yang ada di sekitar, dan juga lingkungan di mana mereka sedang berada. Bayi harus belajar untuk beradaptasi terhadap berbagai macam konteks yang memerlukan pengaturan emosi. Seiring dengan bertambahnya usia, bayi akan menghadapi tuntutan-tuntutan baru dan juga menghadapi perubahan ekspektasi dari orang tua. Sebagai contoh, jika seorang bayi berusia 6 bulan tiba-tiba menjerit di tengah restoran, orang tuanya akan menganggap hal ini wajar, tapi tidak jika anak yang menjerit itu sudah berusia 1½ tahun misalnya.

2.    Masa Kanak-Kanak Awal

                    Pada masa ini, emosi yang dilakukan adalah termasuk dalam emosi yang disadari. Ekspresi dari emosi-emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai memahami dan menggunakan peraturan dan norma sosial untuk menilai perilaku mereka.
·         Rasa bangga muncul ketika anak merasakan kesenangan setelah sukses melakukan perilaku tertentu. Rasa bangga sering kali diasosiakan dengan pencapaian suatu tujuan tertentu.
·         Rasa malu muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi standar atau target tertentu. Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa bersembunyi atau menghilang dari situasi tersebut. Rasa malu biasanya berhubungan dengan serangan terhadap self dan dapat mengakibatkan kebingungan dan membuat anak tidak mampu berkata-kata. Tubuh anak yang mengalami rasa malu ini biasanya akan terlihat seperti “merengut” seolah-olah ingin menghindar dari tatapan orang lain. Rasa malu bukan merupakan hasi dari situasi tertentu tetapi lebih disebabkan oleh interpretasi individu terhadap kejadian tertentu.
            Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan akan lebih menunjukkan perasaan malu dan bersalah jika dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan di antara gender ini sangat menarik karena biasanya anak perempuan adalah pihak yang lebih rentan terhadap internalisasi seperti kecemasan dan depresi, di mana salah satu ciri khasnya adalah perasaan malu dan kritik terhadap diri yang berlebihan.
·         Rasa bersalah biasanya muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah kegagalan. Perasaan malu dan bersalah memiliki karakteristik fisik yang berbeda. Ketika seorang anak menunjukkan rasa malu, mereka seolah-olah mengecilkan tubuh mereka seperti ingin bersembunyi, sedangkan ketika mereka mengalami perasaan bersalah, mereka biasanya melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki kegagalan mereka
·         Rasa marah muncul ketika anak sedang bermain dengan teman sebayanya, lalu terjadi perebutan mainan oleh salah satu pihak, mungkin juga karena keinginannya tidak tercapai, ataupun karena ada serangan dari anak lain. Ekspresi yang biasa muncul adalah menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat, dan memukul.
·         Rasa takut dirasakan ketika ia mendengar cerita yang menyeramkan, melihat gambar, melihat TV, mendengarkan radio, maupun melihat orang yang sedang marah-marah. Ia biasanya langsung panik, lari, menghindar, bersembunyi, maupun  menangis.
·         Rasa cemburu biasa diungkapkan dengan pura-pura sakit, nakal, maupun regresi (melakukan hal-hal yang dulu pernah dilakukan dan menarik perhatian, misalnya ngompol lagi setelah lama tidak ngompol). Penyebab umumnya adalah karena perhatian orang tua beralih kepada orang lain, misalnya adiknya yang baru lahir. Anak biasa mengekspresikan Rasa ingin tahunya dengan banyak bertanya. Ia ingin mengetahui hal-hal yang baru, juga ingin mengetahui tubuhnya sendiri.
·         Iri hati juga bisa mereka rasakan. Jika emosi ini sedang muncul, maka ia akan mengeluh tentang hal-hal yang dimiliki, mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang orang lain, ataupun bahkan mengambil benda yang ingin dimilikinya. Ia sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki orang lain.
·         Gembira dapat mereka rasakan tatkala ia sedang sehat, mendengar bunyi yang tiba-tiba, ataupun berhasil melakukan tugas yang dianggapnya sulit. Ungkapannya adalah dengan tersenyum, tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat, memeluk benda atau orang yang membutanya bahagia.
                    Ia juga bisa merasakan Sedih kehilangan sesuatu yang disayanginya. Ia akan menangis dan kehilangan gairah mengerjakan kegiatan sehari-hari.
Ia mulai belajar untuk mencintai sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia mengungkapkan Kasih sayangnya dengan memeluk, menepuk, mencium obyek yang disayangi dengan kasih sayang, mengajak bicara dengan mesra, mengelus-elus binatang yang disayangi dan menggendongnya.
               Perkembangan emosi evaluatif yang disadari ini sangat dipengaruhi oleh respons orang tua terhadap perilaku anak. Sebagai contoh, seorang anak akan mengalami perasaan bersalah ketika orang tua berkata “Kamu seharusnya tidak boleh menggigit kakakmu”.
                 Beberapa di antara perubahan penting dalam perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal adalah meningkatnya kemampuan untuk membicarakan emosi diri dan orang lain dan peningkatan pemahaman tentang emosi. Mereka juga mulai belajar mengenai penyebab dan konsekuensi dari perasaan-perasaan yang dialami.
                        Ketika menginjak usia 4-5 tahun, anak-anak mulai menunjukkan peningkatan kemampuan dalam merefleksi emosi. Mereka juga mulai memahami bahwa mereka harus mengatur emosi mereka untuk memenuhi standar sosial.
                        Orang tua, guru, dan orang dewasa lain di sekitarnya dapat membantu anak-anak memahami dan mengontrol emosi mereka. Para orang dewasa dapat berbicara dengan anak-anak untuk membantu mereka mengatasi stres, kesedihan, kemarahan, atau perasaan bersalah. Belajar mengekspresikan emosi tertentu dan menutupi emosi yang lain, adalah pelajaran yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari anak-anak. Seorang anak yang marah jika harus menunggu sesuatu atau tertawa ketika melihat anak lain menangis karena terjatuh, dapat diajarkan untuk memahami perasaan anak lain. Seorang anak yang terlalu menonjolkan kemenangannya dalam sesuatu hal dapat diingatkan bahwa rasanya sangat menyedihkan bagi pihak yang kalah.
                        Kemampuan mengatur emosi adalah keterampilan penting yang akan membantu hubungan anak dengan teman sebaya. Anak-anak yang moody dan  memiliki emosi negatif akan mengalami penolakan yang lebih besar dari teman sebaya mereka. Sedangkan anak-anak dengan emosi positif akan menjadi populer karena mereka mampu meningkatkan kompetensi sosial mereka serta merespon dengan cara yang lebih kompeten secara sosial ketika mereka diprovokasi secara emosional oleh teman sebaya, dengan cara mengatur emosi mereka.
                        Berikut adalah rangkuman karakteristik komunikasi dan pemahaman anak kecil mengenai emosi:  
    
Rentang Usia
Deskripsi
2-4 tahun
Peningkatan pesat kosa kata mengenai emosi
Penamaan emosi diri dan orang lain dengan tepat dan juga dapat membicarakan emosi yang dialami pada masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Dapat membicarakan penyebab dan konsekuensi dari emosi tertentu, dan juga mengidentifikasi hubungan emosi dengan situasi tertentu.
Dapat menggunakan bahasa emosi pada permainan pura-pura.
5-10 tahun
Menunjukkan peningkatan kemampuan untuk melakukan refleksi secara verbal tentang hubungan emosi dengan situasi tertentu.
Memahami bahwa sebuah kejadian yang sama dapat menyebabkan perasaan yang berbeda pada orang yang berbeda, dan kadang-kadang perasaan dapat bertahan lama setelah kejadian yang menyebabkannya.
Menunjukkan tingkat kesadaran yang lebih tinggi dalam mengatur dan mengontrol emosi sesuai dengan standar social/
3.        Masa kanak-kanak madya dan kanak-kanak akhir
Berikut ini adalah beberapa perubahan yang penting dalam perkembangan emosi pada masa kanak-kanak madya dan akhir.
ü  Peningkatan kemampuan untuk memahami emosi kompleks, misalnya kebanggaan dan rasa malu. Emosi-emosi ini menjadi lebih terinternalisasi (self-generated) dan terintregasi dengan tanggung jawab personal.
ü  Peningkatan pemahaman bahwa mungkin saja seseorang mengalami lebih dari satu emosi dalam situasi tertentu.
ü  Peningkatan kemampuan untuk menekan atau menutupi reaksi emosional yang negatif.
ü  Penggunaan strategi personal untuk mengalihkan perasaan tertentu, seperti mengalihkan atensi atau pikiran ketika mengalami emosi tertentu.

4.        Masa Remaja
            Masa remaja merupakan masa yang sulit secara emosional. Tidak selamanya seorang remaja berada dalam situasi “badai dan stress”, tetapi fluktuasi emosi dari tinggi ke rendah memang meningkat pada masa remaja awal. (Rosenblum & Lewis, 2003).
            Seorang remaja bisa saja merasa di puncak dunia pada suatu saat namun merasa tidak berharga sama sekali pada waktu berikutnya. Seorang remaja akan sering merajuk tidak tahu bagaimana mengekspresikan emosi mereka. Hanya dengan sedikit atau bahkan tanpa provokasi sama sekali, mereka bisa saja meledak di depan orang tua atau  saudara-saudara mereka.
            Reed Larson dan Maryse Richards (1994) menemukan bahwa remaja melaporkan emosi yang lebih ekstrem dan lebih berubah-ubah dibandingkan orang tua mereka. Sebagai contoh, seorang remaja lima kali lebih mungkin untuk menyatakan dirinya “sangat bahagia” dibandingkan dengan orang tua mereka. Penemuan ini mendukung pandangan yang menyatakan remaja adalah orang yang sangat moody dan mudah berubah-ubah emosinya. (Rosenblum & Lewis, 2003)
        Sangat penting bagi orang dewasa untuk menyadari bahwa moody adalah aspek normal dari masa remaja awal, dan kebanyakan remaja akan melalui masa ini untuk kemudian berkembang menjadi orang dewasa yang berkompeten.
                    Meskipun begitu, untuk remaja tertentu emosi-emosi yang dialami pada masa ini dapat menyebabkan masalah yang serius, terutama remaja perempuan yang lebih rentan terhadap depresi. (Nolen-Hoeksema, 2004)
                    Adanya fluktusi emosi pada masa remaja awal mungkin berhubungan denga perubahan hormonal pada masa ini. Mood akan menjadi lebih tidak ekstrem seiring dengan beralihnya remaja menjadi orang dewasa, dan penurunan ini mungkin saja berhubungan dengan adanya adaptasi terhadap kadar hormon yang ada dalam tubuh. Meskipun begitu, kebanyakan peneliti menyimpulkan bahwa hormon hanya memiliki sedikit peranan kecil. Biasanya faktor ini beasosiasi dengan faktor-faktor lain seperti stres, pola makan, aktivitas seksual, dan hubungan sosial. (Rosenblum & Lewis, 2003).

Teori Psikososial Erikson
                    Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. 
                    Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
                    Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
                    Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.

Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
                     Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan. Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup. Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
                            Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.

Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
                     Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun. Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
                            Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
                            Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian. Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.

Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
                     Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun. Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
                     Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
 Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.

Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
                        Terjadi pada usia 6 s/d pubertas. Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka. Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya. Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untukberhasil.
                        prakarsa yangdicapaisebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat denganpengalaman-pengalaman baru. Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
                     Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnyarasa rendah diriperasaan tidak berkompeten dan tidak produktif. Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.

Tahap 5Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
                     Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun. Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya. Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan). Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
             Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai. Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela. Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini. Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.

Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
                     Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun) Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain. Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman. Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi. Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
                     Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun). Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga. Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas. Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
                     Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun). Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu. Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan. Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami. Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sosio-Emosional.
         Dalam perkembangan sosio-emosional anak, tentu ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhinya. Ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan sosio-emosional anak yaitu:

1.   Perlakuan dan Cara Pengasuhan Orang Tua
Secara garis besar ada tiga tipe gaya pengasuhan orang tua yakni otoriter, permisif, dan otoritatif.
Tipe
Perilaku Orang Tua
Karakteristik Anak
Otoriter
Kontrol yang ketat dan penilaian yang kritis terhadap perilaku anak, sedikit dialog (memberi dan menerima) secara verbal, serta kurang hangat dan kurang terjalin secara emosional
Menarik diri dari pergaulan serta tidak puas dan tidak percaya terhadap orang lain.
Permisif
Tidak mengontrol, tidak menuntut, sedikit menerapkan hukuman dan kekuasaan, penggunaan nalar, hangat dan menerima
Kurang dalam harga diri, kendali diri, dan kecenderungan untuk bereksplorasi
Otoritatif
Mengontrol, menuntut, hangat, reseptif, rasional, berdialog (memberi dan menerima) secara verbal, serta menghargai disiplin, kepercayaan diri, dan keunikan
Mandiri, bertanggung jawab secara sosial, memiliki kendali diri, bersifat eksplloratif, dan percaya diri

2.         . Kesesuaian antara bayi dan pengasuh
                     Dalam proses interaksi antara pengasuh dan anak, perilaku mereka bisa saling mempengaruhi dan menyesuaikan diri satu sama lain sehingga ada penyesuain diri antar masing-masing. Jika terjadi ketidakcocokan antara pengasuh dan anak maka akan berdampak anak mengalami stres, murung, frustasi, dan bahkan menimbulkan rasa kebencian. Jadi pengasuh harus benar-benar bisa menangkap respon apa yang sang anak inginkan, agar terjadi jalinan kasih sayang antara mereka, dan tidak menimbulkan rasa benci
3.         Temperamen bayi
                     Temperamen bayi merupakan salah satu hal yang harus dipahami oleh sang pengasuh agar bisa terjalin hubungan yang akrab antara pengasuh dan anak. Ada tiga gaya perilaku bayi yakni bayi yang mudah, bayi yang sulit dan bayi yang lamban. Ciri bayi yang mudah adalah memiliki keteraturan, adaptif, bahagia dan mau mendekati objek atau orang baru. Bayi yang sulit cenderung tidak teratur, tidak senang terhadap perubahan situasi, sering menangis, menempakkan perasaan negative. Sedangkan bayi yang lamban adalah bayi yang cenderung kurang adaptif, menarik diri, kurang aktif dan intensitas respon kurang.
4.         Perlakuan guru di sekolah
                     Apa yang guru perbuat di sekolah akan berpengaruh terhadap anak didiknya. Perlakuan guru terhadap anak memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan sosioemosional anak. Pengaruh guru tidak hanya pada aspek kognitif anak, tetapi juga segenap perilaku dan pribadi yang ditampilkan guru di depan anak didiknya, karena secara langsung hal tersebut bisa menjadi pengalaman-pengalaman anak.

E.       Masalah –Masalah dalam Perkembangan Sosio-Emosional serta Solusinya.
                     Kadang-kadang emosi tertentu dapat menimbulkan masalah besar bagi anak-anak. Kita akan berfokus kepada 2 masalah depresi dan bunuh diri. Kita juga akan menelusuri stres yang ada pada kehidupan anak-anak dan cara-cara agar mereka dapat mengatasinya dengan efektif.
1.    Depresi
            Depresi adalah gangguan mood di mana seseorang merasa tidak bahagia, tidak bersemangat. memandang rendah diri sendiri, dan merasa sangat bosan. Individu merasa selalu tidak enak badan, gampang kehilangan stamina, selera makan yang buruk, tidak bersemangat, dan tidak memiliki motivasi.
a.         Depresi pada Masa Kanak-kanak
            Pada masa kanak-kanak perilaku yang berhubungan dengan depresi sering kali lebih luas jika dibandirigkan dengan pada orang dewasa, hal mi rnenyebabkan diagnosis menjadi lebih sulit (Weiner, 1980). Banyak dari anak yang depresi menunjukkan agresi, kecemasan. prestasi yang buruk di sekolah, perilaku antisosial, dan juga hubungan yang buruk dengan teman sebaya.
                    Ada beberapa sebab timbulnya depresi pada masa kanak-kanak dianggap menimbulkan hal ini: Biologis, kognitif dan lingkungan. Dan berbagai pandangan mengenai hal ini ada tiga pandangan yang mendapat perhatian, yaitu teori perkembangan Bowlby, teori kognitif Beck, dan teori learned helplessness dari Seligman.
            John Bowlby (1969. 1989) menyatakan bahwa attachment yang insecure. kurangnya cinta kasih dan afeksi dalam pengasuhan anak, atau kehilangan orang tua pada masa kanak-kanak mengakibatkan anak mengembangkan skema kognitif yang negatif. Skema mi akan terus dibawa dan mempengaruhi bagaimana pengalaman yang akan datang akan diinterpretasi. Ketika pada pengalaman yang akan datang anak juga mengalami kehilangan tertentu. anak akan menginterpretasikan kehilangan ini sebagai kegagalan dalam membina hubungan positif. dan biasanya hal mi akan menyulut timbulnya depresi.
                    Dalam pandangan kognitif Aaron Beck (1973), individu akan depresi jika pada masa awal perkembangannya mereka membentuk skema kognitif yang ditandai dengan devaluasi diri dan tidak percaya diri mengenai masa depan. Mereka biasanya memiliki pemikiran-pemikiran yang negatif, dan pemikiran negatif ini akan meningkatkan pengalaman negatif dan individu tersebut. Anak yang depresi akan menyalahkan diri sendiri secara berlebihan.
                    Dalam pandangan Beck. depresi pada anak dilihat sebagai hasil perkembangan dari dua kecenderungan kognitif:
 (1) Anak terlalu memperhatikan petunjuk negatif di lingkungan
 (2) mengidentifikasi diri mereka sebagai sumber dan kejadian negatif.
                    Teori Martin Seligman mengenai depresi adalah learned helplessness. Yaitu ketika seorang individu mengalami pengalaman negatif dan mereka tidak memiliki kontrol rnengenai hal tersebut seperti ketika dihadapkan dengan stres dan rasa kesakitan yang panjang mereka akan lebih mungkin untuk mengalarni depresi. (Seligman. 1975).

b.    Depresi pada Orang tua
                    Depresi biasanya dianggap sebagai masalah individual. Tetapi peneliti menemukan adanya saling keterikatan antara orang yang depresi dan konteks sosial mereka. Saling ketergantungan ini sangat penting terutama dalam kasus Depresi pada orang tua dan bagaimana penyesuaian diri anak (Downey & Coyne, 990).
                    Depresi adalah gangguan dengan prevalensi yang sangat tinggi-sedemikian tingginya sehingga sering disebut flunya gangguan mental. Di antara wanita dalam usia subur, depresi timbul dengan tingkat sekitar 8 persen, dan 12 persen pada wanita yang baru saja melahirkan. Dan hal ini bisa kita lihat ada banyak anak-anak yang memiliki orang tua yang depresi.
Efek apa yang dapat ditimbulkan dari hamil Ibu yang depresi menunjukkan tingkat perilaku yang lebih rendah dan menunjukkan afeksi yang lebih terbatas; mereka melakukan strategi kontrol yang mereka anggap tidak menyusahkan mereka, bahkan kadang-kadang bersikap negatif dan mengancam terhadap bayi mereka.
c.       Depresi pada Remaja
                    Depresi lebih mungkin terjadi pada masa remaja dibandirigkan pada masa kanak-kanak, dan remaja putri memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra. (Blatt, 2004; Graber. 2004; Nolen-Hoeksema, 2004, 2007).

Beberapa penyebab dan perbedaan antar jenis kelamin ini adalah:
   Remaja putri cenderung untuk tenggelam dalam depresi mereka sehingga menguatkan depresi tersebut.
    Self-image dan remaja putri, terutama body imagenya, cenderung lebih negatif dibandirigkan dengan remaja putra.
  Puber terjadi lebih cepat pada remaja putri jika dibandirigkan dengan remaja putra, sehingga remaja putri mengalami berbagai perubahan pengalaman hidup yang sangat banyak pada masa-masa SMP, yang dapat meningkatkan depresi.
                    Beberapa faktor dalam keluarga juga rnenyebabkan remaja riskan untuk mengalami depresi beberapa faktor ini seperti orang tua yang juga mengalami depresi, orangtua yang tidak memberikan dukungan emosional, orang tua yang memiliki konflik perkawinan yang tinggi. dan juga orang tua yang memiliki masalah keuangan.
                    Hubungan teman sebaya yang buruk juga berhubungan dengan depresi pada remaja. Lebih jelasnya, kecenderungan untuk mengalami depresi pada remaja berhubungan dengan ketiadaan hubungan yang erat dengan sahabat, jarangnya berhubungan dengan teman, dan penolakan dan teman sebaya.
                    Perceraian orang tua merupakan salah satu contoh pengalaman tersebut. Hal ini meningkatkan simptom depresi pada remaja. Selain itu remaja yang mengalami puber tepat pada saat mereka baru lulus SD dan masuk ke SMP mengalami depresi yang lebih tinggi jika dibandirigkan dengan remaja yang baru mengalami puber setelah masuk SMP.

2.    Bunuh Diri
                    Perilaku bunuh diri sangat jarang terjadi pada masa kanak-kanak, tetapi meningkat sangat tajam pada masa rernaja awal.
                    Remaja yang seperti apakah yang lebih memiliki kecenderungan untuk bunuh diri? Semakin dekat hubungan genetis seseorang dengan orang yang melakukan bunuh diri, semakin mungkin orang tersebut untuk juga melakukan bunuh diri. Remaja putri lebih mungkin untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandirig remaja putra, tetapi remaja putra lebih mungkin untuk berhasil dalam bunuh diri tersebut.
         Remaja pria biasanya menggunakan cara-cara yang lebih mematikan seperti menggunakan senjata api, sementara remaja putri lebih mungkin melakukan percobaan bunuh diri yang tidak langsung mematikan seperti dengan memotong urat nadi atau menelan pil tidur berlebihan.
        Remaja pada populasi seksual minoritas (homo, lesbian, dan biseksual) sangat rentan terhadap bunuh diri in laporan awal menunjukkan bahwa remaja ini 3 sampai 7 kali lebih rnungkin untuk melakukan percobaan bunuh diri jika dibandirigkan dengan remaja heteroseksual.
                    Remaja tersebut mungkin saja memiliki sejarah ketidak stabilan dan .ketidakbahagiaan dalam keluarga. Sama seperti kekurangan afeksi dan dukungan emosional, tingkat kontrol yang terlalu tinggi dan tekanan berprestasi yang terlalu berlebihan dan orang tua pada masa kanak-kanak. menjadi hal-hal menyebabkan depresi pada remaja. kombinasi dan hal ini juga muncul sebagai faktor yang menyebabkan percobaan bunuh diri. Biasanya remaja ini juga kekurangan hubungan pertemanan yang suportif.
                    Meskipun tidak semua remaja yang depresi melakukan percobaan bunuh diri, depresi tetap menjadi faktor yang dianggap sebagai pencetus bunuh diri pada remaja. Perasaan tidak adanya adanya harapan. self-esteem yang rendah, serta self -blame yang tinggi juga dianggap berhuhungan dengan perilaku bunuh diri pada remaja.
                    Perhatian yang muncul akhir-akhir ini mengenai perilaku bunuh diri pada remaja adalah keterkaitan antara obat antidepresan dan pemikiran untuk melakukan bunuh diri.
3.    Stres dan Coping
                    Stres adalah respons individu terhadap situasi atau peristiwa (disebut stresor) yang mengancam dan melebihi kemampuan coping mereka. Faktor kognitif, kejadian sehari-hari, dan juga faktor sosiokultural merupakan hal-hal yang berhubungan dengan stres pada anak-anak.

Ø  Faktor Kognitif
                        kebanyakan orang berfikir bahwa stres hanya terjadi ketika ada hal-hal yang menuntut diri kita seperti ketika akan ujian, terlibat kecelakaan atau ketika kehilangan seorang teman. Penilaian kognitif (cognitis appraisal) adalah istilah yang digunakan oleh Lazarus untuk menjelaskan interpretasi anak terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka yang dianggap berbaha mengancam atau menantang. dan pemahaman mereka apakah mereka memiliki sumber daya yang cukup untuk mengatasi kejadian tersebut.

Kejadian dan Masalah Sehari-hari
                  Anak-anak mengalami jangkauan stresor yang sangat luas, mulai dari yang biasa sampai yang sangat parah. Stresor yang biasa ini adalah pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari anak-anak, dan karena hal ini adalah hal yang umum dijumpai maka biasanya sudah tersedia pola coping , yang sangat baik.

Ø  Faktor Sosiokultural
                        salah satu faktor Sosiokultural yang berhubungan dengan stress adalah stress yang diakibatkan akulturasi dan juga kemiskinan. Stress disebabakan proses akulturasi adalah konsekuensi negative dari perubahan budaya  yang disebabkan adanya persinggungan dua budaya yang berbeda yang berlangsung lama.
                        Anak-anak imigran dapat saja mendapati bahwa teman sekolahnya tidak ada yang rnengetahui permainan masa kecil mereka, mereka diolok-olok karena aksen bicara mereka, atau cara berpakaian mereka yang berbeda. Seorang remaja putri yang tumbuh di Amerika tetapi kedua orang tuanya adalah imigran dan sebuah kebudayaan yang tradisional dan konservatif dapat saja mengalami kebimbangan apakah harus mengikuti cara berpakaian sesuai dengan keinginan orang tua mereka atau mengikuti gaya busana teman sebaya mereka.   
                        Ketika keluarga Afro-Amerika atau Latin pindah ke lingkungan yang mayoritas penduduknya adalah orang kulit putih. anak-anak mereka dapat menjadi korban isolasi atau menjadi korban kekerasan.
                  Kemiskinan menyebabkan stres yang cukup besar bagi seorang anak dan juga keluarga mereka (McLoyd. 2000). Jika dibandingkan dengan anak lain, anak dan keluarga yang miskin lebih mungkin mengalami kejadian yang mengancam dan tidak bisa dikontrol. Tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan tempat tinggal yang berbahaya, tugas-tugas tambahan yang memberatkan, dan juga ketidakpastian ekonomi adalah stresor yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum miskin (Brooks-Gunn, Leventhal, & Duncan, 2000).
                  Kemiskinan biasanya dialami oleh anak dan etnis minonitas dan juga keluarga mereka. Banyak orang yang miskin hanya merasakan kerniskinan tersebut selama satu atau dua tahun. Meskipun begitu orang-orang Afro Amerika dan juga keluarga dengan kepala keluarga wanita lebih riskan untuk mengalami kemiskinan yang berlanjut.
                  Coping terhadap stres Belajar melakukan coping terhadap stres adalah aspek penting dan kehidupan emosional anak-anak.
                  Para peneliti percaya bahwa akan lebih menguntungkan bagi anak jika mereka melakukan pendekatan pemecahan masalah (problem solving) terhadap stress dibandingkan dengan lari atau menghindari stres tersebut (Bridges, 2003: Folkman & Moskowitz, 2004; Lazarus & folkman, 1984). Sebagai contoh. seorang anak yang merespons nilai jelek dalam ulangan dengan rnenambah jam belajar mereka dan mencari teknik belajar yang lebih efektif akan Iebih mungkin melakukan coping yang efektif jika dibandingkan dengan anak yang berpura-pura sakit ketika ulangan berikutnya tiba.
                  Sangat penting bagi pengasuh untuk membantu anak melakukan coping secara efektif. Selain itu, juga perlu mendorong anak untuk aktif dan rnemilih strategi pemecahan masalah dalam menghadapi stres. Dengan cara ini pengasuh dapat (1) menghilangkan setidaknya satu stresor dari anak dan (2) mengajarkan anak berbagai strategi coping yang baik.
                  Ketika anak menghadapi beberapa stresor dalam waktu yang bersamaan, biasanya stres yang dihasilkan bukan merupakan akumulasi dan stres tersebut, tetapi adalah perkalian dan stresor-stresor tersebut (Rutter, 1979). Satu stresor akan melipat  gandakan efek dan stresor yang lain. Dengan hanya menghilangkan satu elemen stresor. dapat membantu anak menjadi merasa lebih kuat dan kompeten.

PERKEMBANGAN SOSIAL

Menurut para ahli pengertian perkembangan sosial:

1.Menurut Plato
Adalah : Secara pontensi manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial.

2.Menurut Syamsuddin
            Adalah : Sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial.

            Keterkaitan Perkembangan Sosial Emosional Dengan Perkembangan Lainnya
Tampilan emosi merupakan suatu bentuk komunikasi atau dengan kata lain ekspresi emosi memungkinkan anak bersosialisasi dalam suatu lingkungan sosial yang di masukinya.
            Bagi seorang pembimbing dan orang tua sangat penting mengetahui cara mudah untuk dapat mengenali gejala emosi dan perilaku sosial anak serta dampak – dampaknya agar tindakan preventif dan interventif dapat segera dilakukan jika di temukan hal – hal yang tidak sesuai harapan (penyimpangan).
 Kemampuan sederhana yang perlu dikuasai oleh orang tua dan guru dalam mengenali perilaku sosial emosional anak, kaitannya dengan perkembangan fisik, mental, dan psikologi anak diantaranya adalah :
1.kemampuan mendekati anak dalam keadaan apapun
2.kemampuan mengamati atau mengobservasi berbagai karakter emosi dan perilaku sosial anak

Bentuk-Bentuk Hubungan Sosial Emosional Dengan Fisik, Mental, Dan Psikologis

            Kemampuan sosial emosional anak ternyata sangat erat kaitannya dengan perkembangan fisik dan mental.Perubahan yang nyata akan berpengaruh atau menyebabkn perubahan pada berbagai dimensi fisik.
            Pengaruh emosi terhadap perubahan fisik :

Jenis Emosi
Perubahan Fisik
Marah
Peredaran darah bertambah cepat
Terkejut
Denyut jantung bertambah cepat
Kecewa
Bernapas panjang
Sakit
Pupil mata membesar
Tegang
Air liur mengering
Takut
Berdiri bulu roma


Menurut Hurlock dalam mengungkapkan berbagai kondisi yang mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak menyebutkan 3 kondisi utama yaitu :

1. Kondisi Fisik
            Apabila kondisi keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan maka mereka akan mengalami emosi yang sangat meningkat.
a.Kesehatan yang buruk, disebabkan oleh gizi yang buruk, gangguan pencernaan atau 
   penyakit.
b.Kondisiyang merangsang seperti kaligata.
c.Setiap gangguan kronis seperti asma atau penyakit kencing manis.
d.Perubahan kelenjar, terutama pada masa puber.

2. Kondisi psikologis
            Kondisi psikologis dapat mempengaruhi emosi antara lain tingkat inteligensi, tingkat aspirasi dan kecemasan.  Berikut adalah penjelasannya :
a.Intelektual yang buruk.
Anak yang tingkat intelektualnya rendah, rata rata mempunyai pengendalian  emosi  yang kurang dibandingkan dengan anak yang pandai pada tingkat umur yang sama.
b.Kegagalan mencapai tingkatan aspirasi.
Kegagalan yang berulang–ulang dapat mengakibatkan  timbulnya  keadaan  cemas  sedikit atau banyak.
c.Kecemasan.
Setelah pengalaman emosi tertentu yang sangat kuat,akan  mengakibatkan anak takut kepada setiap situasi yang dirasakan mengancam

3.Kondisi lingkungan
            Ketegangan yang terus menerus, jadwal yang ketat, dan terlalu banyaknya pengalaman menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan akan berpengaruh pada emosi anak. Berikut penjelasannya :
a.       Ketegangan yang disebabkan oleh pertengkaran dan perselisihan yang terus-menerus. Pertengkaran atau perselisihan dalam konteks interaksi sosial sebetulnya  wajar,  tetapi jika terus menerus akan mengakibatkantimbulnya emosi dan akibatnya merusak hubungan sosial yang wajar,kekesalan yang amat kuat, akan menimbulkan keinginan anak melukai orang  yang  berselisih  dengannya, bahkan pada tingkatan pengendalian emosi yang rendah, akan muncul keinginan membunuh.
b.      Ketegangan yang berlebihan serta disiplin yang otoriter.
Disiplin ini apabila dipaksakan akan menimbulkan dampak buruk bagi pihak yang dikenalnya, lama kelamaan akan timbul keinginan orang tersebut untuk memberontak dan keluar dari aturan norma atau aturan yang ada tersebut.
c.       Sikap orang tua yang selalu mencemaskan atau terlalu melindungi. 
Melindungi orang yang sangat disayang itu baik, tetapi jika terlampau (over protective), akan mengakibatkan penolakan dari orang yang disayangi dan sesungguhnya sudah menjadi sifat yang alamiah bahwa manusia tidak mau terlampau dilindungi dan diatur oleh pihak luar.
d.      Suasana otoriter di sekolah.
Guru yang terlalu menuntut atau pekerjaan sekolah yang tidak sesuai dengan kemampuan anak akan menimbulkan kemarahan. Kemudian anak pulang kerumah dalam keadaan kesal.

Penciptaan Kondisi Ideal Bagi Pengembangan Sosial Emosional

                    Pada usia pra sekolah keadaan emosi anak penuh dengan ketidakseimbangan karena anak –anak mudah keluar dari fokus dalam arti bahwa ia gampang terbawa ledakan – ledakan emosi sangat menjadikan mereka sulit dibimbing dan diarahkan.
                    Untuk memicu emosi anak dalam kehidupan sosial nya yang terpenting bagi orang tua atau guru adalah dapat menyediakan kondisi ideal yang dapat mengatasi berbagai hambatan perkembangan emosi maupun perilaku sosial anak secara efektif .
                    Perkembangan positif dalam konteks perkembangan emosi maksudnya adalah mampu menciptakan dan menyediakan kondisi yang dapat menjamin terkendalinya  ekspresi emosi dari setiap anak sehingga emosi anakterlindungi, lebih stabil dan seimbang serta wajar dalam tampilannya,sedangkan terkait dengan pengembangan dimensi sosial anak maksudnya adalah anak mampu melakukan interaksi sosial serta meningkatkan keterampilan anak dalam bersosialisasi.
                    Hal yang terpenting adalah perkembangan emosi dan sosial anak dapat saling terbangun secara utuh dalam suatu kondisi yang diciptakan seperti disebutkan  diatas  berbagai keadaan yang dapat merusak perkembangan emosi dan sosial anak dapat di hindarkan.


4.      PERBEDAAN INDIVIDU
Pengertian Perbedaan Individu

Keunikan yang ada pada masing-masing individu yang akan membedakan cara
berpikir, berperasaan, dan bertindak. Tidak ada individu yang sama dengan individu
lain, sekalipun kembar identik
Sumber Perbedaan Individu

a.      Faktor Bawaan

Yaitu faktor-faktor biologis yang diturunkan melalui pewarisan genetik orang  tuanya. Proses ini dimulai sejak masa konsepsi (pembuahan), + 280 hari sebelum kelahiran. Pada masing-masing sel reproduksi terdapat 23 pasang kromosom. Kromosom adalah partikel seperti benang yang masing-masing di dalamnya terdapat untaian partikel yang sangat kecil (= gen). Gen adalah pembawa ciri bawaan yang diwariskan orang tua kepada keturunannya. Jumlah gen dalam genome (= kumpulan gen) sekitar 60.000 – 150.000. Masing-masing gen mengandung potensi ciri bawaan fisik dan mental. Mempengaruhi: bentuk tubuh, kekuatan fisik, kecerdasan.

b.       Faktor Lingkungan

·         Status Sosial Ekonomi Orang tua:
- tingkat pendidikan orang tua
- pekerjaan orang tua
- penghasilan orang tua
Berimplikasi pada perbedaan aspirasi orang tua terhadap pendidikan anak, aspirasi anak tehadap pendidikannya, fasilitas yang diberikan pada anak, dan waktu yang disediakan untuk anak-anaknya.

·         Pola Asuh Orang tua.
- Otoriter :  menekankan pada pengawasan orang tua pada anak untuk mendapatkan ketaatan atau kepatuhan. Ortu bersikap tegas, suka menghukum, dan cenderung mengekang keinginan anak. Anak menjadi kurang inisiatif, cenderung ragu, dan mudah
gugup. Karena sering mendapat hukuman anak menjadi tidak disiplin dan nakal.

- Permissive: ortu memberi kebebasan sebanyak mungkin kepada untuk mengatur dirinya sendiri, anak tidak dituntut untuk bertanggungjawab, dan tidak banyak dikontrol oleh ortu.

- Authoritative: adanya hak dan kewajiban ortu dan anak, yang berarti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab, dan menentukan perilakunya sendiri agar berdisiplin.

·         Budaya
- ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
- sistem sosial: aktifitas dan tindakan berpola dari manusia dan
masyarakat
- benda-benda hasil karya manusia

·         Urutan Kelahiran
Disebabkan oleh perbedaan perlakuan dari ortu maupun anggota
keluarga lainnya terhadap anak.




Macam-macam Perbedaan Individu

a.       Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender

Jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Gender merupakan aspek psikososial (dibangun secara sosial agama) antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender termasuk dalam hal peran, tingkah laku, kecenderungan, sifat, dan atribut lain yang menjelaskan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam kebudayaan yang ada.
Perbedaan gender muncul dari perbedaan cara dalam memperlakukan anak laki-laki dan perempuan yang dilakukan secara terus menerus, diturunkan secara kultural, dan terinternalisasi menjadi kepercayaan dari generasi ke generasi dan diyakini sebagai ideologi.

b.      Perbedaan Gender dan Prestasi di Kelas

Hampir tidak ada penelitian yang membuktikan pengaruh perbedaan jenis kelamin sebagai penentu prestasi di kelas. Perbedaan prestasi antara siswa laki-laki dan perempuan lebih disebabkan karena faktor sosial dan kultural.

c.       Perbedaan Kemampuan

Kemampuan secara sederhana dapat diartikan sebagai kecerdasan. Kemampuan umum didefinisikan sebagai prestasi komparatif individu dalam berbagai tugas, termasuk memecahkan masalah dengan waktu yang terbatas. Lebih jauh lagi kemampuan juga meliputi kapasitas individu untuk memahami tugas, menemukan strategi pemecahan yang cocok, serta prestasi individu dalam sebagian besar tugas-tugas belajar.
Perbedaan kecerdasan dapat dipahami dari perbedaan skor IQ yang dihasilkan dari tes kecerdasan. Perbedaan kecerdasan manusia mengikuti suatu distribusi normal, dari 0-200 dengan rata-rata 100. Distribusi IQ yang digunakan menurut tabel yang dikembangkan oleh Wechsler.


d.       Gifted
Adalah individu yang memiliki IQ di atas 130, sekitar 1% dari populasi. Anak-anak gifted lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang tinggi. Sebagian besar sukses dan berprestasi. Namun sebagian lagi terlibat dalam perkara kriminal, drop out dini dari sekolah, atau gagal dalam beberapa pekerjaan. Hal ini disebabkan karena secara emosional kurang matang atau kurang motivasi dibandingkan yang lain.
Menurut Renzulli ada tiga ciri pokok anak gifted, yaitu:
ü  dapat belajar ketrampilan praktis, membaca atau menghitung
Contohnya: sampai level kelas 6 SD, tapi harus dididik di sekolah luar
biasa bukan sekolah umum
ü  dapat mencapai ketrampilan sosial dan pekerjaan untuk pemeliharaan diri tapi dilakukan dengan lamban.
ü  dapat dibimbing untuk penyesuaian sosial.
ü  membutuhkan dukungan dan bimbingan berkala saat mengalami tekanan ekonomi atau sosial yang tidak biasa.

e.       Perbedaan Kepribadian

Model Big Five
-          Ekstroversion
-          Agreeableness
-          Conscientinousness
-          Neuroticism atau sebaliknya stabilitas emosi
-          Openness to Experience

Model Brigg-Myers (MBTI)
-          Ekstraversion (E) vs Introversion (I)
-          Sensing (S) vs Intuition (N)
-          Thinking (T) vs Feeling (F)
-          Judging (J) vs Perceptive (P)


f.       Perbedaan Gaya Belajar

Model Feider & Solomon
ü  Active & Reflective Learners
Mendiskusikan, mengaplikasikan, atau menjelaskan pengetahuannya pada orang lain. Memikirkan pengetahuan yang didapatkannya “Coba dulu dan lihat hasilnya” “Mari pikirkan dahulu”. Belajar dalam kelompok Belajar sendiri lebih tekun dalam menulis pelajaran Kurang tekun dalam menulis pelajaran..

ü  Sensing learner Intuitive learner
Suka mempelajari fakta Memilih menemukan kemungkinan dan hubungan
menyukai pemecahan masalah dengan menggunakan cara-cara yang sudah pasti, tidak menyukai komplikasi dan kejutan menyukai inovasi dan tidak suka pengulangan.

ü  Visual learner Verbal learner
Memiliki ingatan yang bagus terhadap apa yang dilihatnya:
gambar, diagram, flow chart, film, dan peragaan. Mudah mengingat kata-kata, baik tertulis maupun penjelasan lisan.

                                               
ü  Sequential learner Global learner
Memahami melalui langkah-langkah yang linier, setiap langkah mengikuti langkah sebelumnya secara logis belajar melalui lompatan-lompatanbesar, menyerap info secara acak tanpa melihat hubungannya dan tiba-tiba dapat menemukan hubungannya. mencari solusi dengan mengikuti langkah-langkah yang logis. Mampu memecahkan masalah kompleks dengan cepat atau mengumpulkan sesuatu secarabersama-sama dalam suatu cara yang baru, tetapi mungkin mengalami kesulitan dalam  menjelaskannya.



5.      SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam Anak berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki Anak berkebutuhan khusus memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Gangguan Indra
Gangguan Penglihatan. Beberapa murid mengalami problem penglihatan (visual) yang masih belum diperbaiki. Tugas penting untuk mengajar anak yang menderita gangguan atau kerusakan penglihatan ini adalah menentukan modalitas (berupa sentuhan atau pendengaran) yang dengannya murid dapat belajar dengan baik.
Gangguan Pendengaran. Banyak anak yang memiliki masalah pendengaran mendapatkan pengajaran tambahan di luar kelas reguler. Pendekatan ini terdiri dari dua kategor pendekatan pendidikan  dalam membantu anak yang mempunyai masalah pendengaran, yaitu: pendekatan oral, dengan menggunakan metode membaca gerak bibir, speech reading, dan lainnya; pendekatan manual adlah pendekatan dengan bahasa isyarat dan pengejaan jari (finger spelling).
Gangguan Fisik
Gangguan Ortopedik, biasanya berupa keterbatasan gerak atau kurrang mampu mengontrol gerak karena ada masalah di otot, tulang, atau sendi. Gangguan ini bisa disebabkan oleh problem prenatal, maupun perinatal (menjelang atau sesudah kelahiran), atau karena penyakit maupun kecelakaan saat anak-anak. Dengan bantuan alat adaptif dan teknoloogi pengobatan, anak dengan gangguan ini bisa berfungsi noromal dikelas (Boyles & Contadino, 1997).
Cerebral Palsy, gangguan berupa lemahnya koordinasi otot, tubuh sangat lemah dan goyah (shaking), atau bicaranya tidak jelas. Penyebab umunya adalah kekurangan oksigen saat kelahiran. Komputer bisa membantu proses belajar anak yang terkena gangguan ini (Keyboard, dan pena dengan cahaya sebagi pointer). Synthesizer suara dan ucapan, papan komunikasii, serta peralatan talking notes dan page turners dapat meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi.
Gangguan Kejang-kejang. Epilepsi merupakan jenis gangguan lyang paling sering ditemukan, dimana gangguan syaraf yang ditandai dengan serangan terhadap sensorimotor (kejang-kejang). Disekolah guru harus lebih memberi perhatian kepada murid-muridnya. Seorang anak yang banyak melamun bisa jadi merupakan tanda epilepsi ringan.
Contoh Kasus : Penggunaan Konsep Psikologi Pendidikan dalam dunia nyata.
Pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus.
Untuk mengatasi permasalahan pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus, maka telah disediakan berbagai bentuk layanan pendidikan (sekolah) bagi mereka. Pada dasarnya sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus sama dengan sekolah anak-anak pada umumnya. Namun kondisi dan karekteristik kelainan anak yang disandang anak yang berkebutuhan khusus, maka sekolah bagi mereka di rancang secara khusus sesuai dengan jenis dan karakteristik kelainannya. Sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
Sekolah Luar Biasa (SLB)
Yaitu sekolah yang di rancang khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus dari satu jenis kelainan.
Di Indonesia kita mengenal bermacam-macam SLB,antara lain:
SLB bagian A (Khusus untuk anak Tuna netra)
SLB bagian B (Khusus untuk anak Tuna rungu)
SLB bagian C (Khusus untuk anak Tuna grahita)
Dalam satu unit SLB biasanya terdapat berbagai jenjang pendidikan mulai dari SD,SMP, Hingga lanjutan.

Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
Yaitu bentuk persekolahan (layanan pendidikan) bagi anak berkebutuhan khusus hanya satu jenjang pendidikan SD. Selain itu siswa SDLB tidak hanya terdiri dari satu jenis kelainan saja, tetapi bias dari berbagai jenis kelainan. Misalkan dalam satu unit SDLB dapat menerima siswa tuna netra,tuna rungu,tuna daksa,bahkan siswa autis.
Menurut Psikolog Klinis Adriana S Ginanjar.Anak yang mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), ciri-cirinva antara lain :
Tidak bisa memusatkan perhatian,Impulsif, dan hiperaktif.
Anak-anak semacam ini akan mudah bosan dan cenderung agresif. Memiliki reaksi berlebihan terhadap frustasi.

Penerapannya :
Psikologi pendidikan adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut :
-          Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas. Menilai belajar dan kebutuhan emosional dengan mengamati dan konsultasi dengan tim multi-lembaga untuk memberikan saran tentang pendekatan terbaik dan ketentuan untuk mendukung pembelajaran dan pengembangan.
-          Mengembangkan dan mendukung program pengelolaan terapi dan perilaku.
-          Merancang dan mengembangkan kursus untuk orang tua, guru dan lain-lain yang terlibat dengan pendidikan anak-anak dan remaja pada topik-topik seperti bullying.
Merancang dan mengembangkan proyek-proyek yang melibatkan anak-anak dan kaum muda.
-          Menulis laporan untuk membuat rekomendasi formal tentang tindakan yang akan diambil, termasuk pernyataan formal.
-          Menasihati, negosiasi, membujuk dan mendukung guru, orang tua dan profesional pendidikan lainnya.
-          Menghadiri konferensi kasus yang melibatkan tim multidisipliner tentang cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan sosial, emosional, perilaku dan pembelajaran anak-anak dan kaum muda dalam perawatan mereka.




DAFTAR ISTILAH

 Ekstraversion              : sikap atau tipe kepribadian seseorang yang minatnya lebih mengarah kedalam luar
  dan fenomena sosial daripada terhadap dirinya dan pengalamannya sendiri
Agreeableness              : ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan
                                      memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain.
Conscientinousness       : menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang. Seseorang yang conscientious memiliki nilai kebersihan dan ambisi, memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas.
Neuroticism                 : menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman.
Openness to Experience          : mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas.
Otoriter                        : memusatkan kekuasaan, bertindak sewenang-wenang
Permissive                   : serba membolehkan, suka mengizinkan
Authoritative                :sumber yang berwenang,dengan cara memerintah
Preventif                      :  tindakan pencegahan
Interventif                    : tindakan penanaman moral dan motivasi kepada anak
Over protective                        : tindakan yang terlalu melindungi atau menjaga seseorang sehingga
                             membuat orang tersebut merasa risih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar