A.
SEJARAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Psikologi
pendidikan muncul sejak zaman Aristoteles. Seorang filsuf besar Yunani yang
hiduppada 382 SM - 322 SM. Ia telah menyusun periode perkembangan anak, sifat
anak menurutperiodenya dan pendidikan yang perlu diberikan.Namun pemikirannya
cenderung ke bidang filsafat, belum merupakan hasil dari pemikiran
ilmupsikologi pendidikan.Psikologi pendidikan secara ilmiah baru diteliti
akhir-akhir abad ini, misal di akhir abad 19.Ebbinghaus telah meneliti aspek
daya ingat dalam proses pendidikan di Eropa. Kemudian padaawal abad ke 20,
pemerintah Perancis menunjuk seorang psikolog, Alfred Binet, dan
dibantuTheodore Simon untuk mengetahui aspek psikologis yang berkaitan dengan
faktor penyebab menurunnya prestasi
pelajar pada masa itu. Mereka menyusun sejumlah tes yang dikenaldengan tes
intelegensi Binet-Simon. Ada beberapa
perintis psikologi pendidikan :
William
James. Dia adalah
seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang terkenal sebagai salah
seorang pendiri Mazhab Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, James juga
terkenal sebagai seorang psikolog. Setelah belajar ilmu kedokteran di Univ.
Harvard, ia
belajar psikologi di Jerman danPerancis. Kemudian ia
mengajar di Universitas Havard untuk
bidang anatomi, fisiologi, psikologi, dan filsafat, hingga tahun
1907. Tak lama setelah meluncurkan buku ajar pikologinya yang pertama, yang
pertama, principles of psychology, William James memberikan
serangkaian kuliah yang bertajuk “talks to Teacher”. Dalam kuliah ini dia
mendiskusikan aplikasi psikologi untuk mendidik anak. James mengatakan bahwa
eksperimen psikologi di laboratorium sering kali tidak bisa menjelaskan kepada
kita bagaimana cara mengajar anak secara efektif. Dia menegaskan pentingnya
mempelajari proses belajar dan mengajar di kelas guna meningkatkan mutu
pendidikan. Salah satu rekomendasinya adalah mulai mengajar pada titik yang
sedikit lebih tinggi di atas tingkat pengetahuan dan pemahaman anak dengan
tujuan memperluas cakrawala pemikiran anak.
John Dewey. Dia adalah seorang filsuf dari Amerika
Serikat, yang termasuk Mazhab Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, Dewey
juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.
Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar
dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada
beberapa universitas. Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih
dari 700-an artikel. Dia menjadi motor penggerak untuk mengaplikasikan
psikologis di tingkat praktis. Banyak ide penting lahir dari pemikiran John
Dewey. Pertama, kita mendapatkan pandangan tentang anak-anak sebagai pembelajar
aktif. Pemikiran yang kedua dari Dewey adalah bahwa pendidikan seharusnya di
fokuskan pada anak secara keseluruhan dan memperkuat kemampuan anak untuk
beradaptasi dengan lingkungannya, ia percaya bahwa anak-anak seharusnya tidak
hanya mendapat pelajaran akademik saja, tetapi juga harus di ajari cara untuk
berpikir dan dan beradaptasi di luar sekolah sehingga anak-anak mampu
memecahkan masalah secara reflektif.
E.L Thorndike. Edward Lee “Ted” Thorndike (31 Agustus 1874 – 9
Agustus 1949) adalah seorang psikolog Amerika yang menghabiskan hampir seluruh
karirnya di Teachers College, Columbia University. Dia adalah anggota dewan
Corporation Psikologis, dan menjabat sebagai presiden American Psychological
Association pada tahun 1912. Thorndike member banyak perhatian pada penilaian
dan pengukuran serta perbaikan dasar-dasar belajar secara ilmiah. Thorndike
berpendapat bahwa salah satu tugas pendidikan di sekolah adalah yang paling
penting adalah menanamkan keahlian penalaran anak. Ia mengajukan gagasan bahwa
psikologi pendidikan harus punya basis ilmiah dan harus berfokus pada
pengukuran.
B.
MENGAJAR
DAN MANAJEMEN KELAS
Manajemen kelas merupakan
bagian integral pengajaran efektif yang mencegah masalah perilaku melalui
perencanaan, pengelolaan, dan penataan kegiatan belajar yang lebih baik,
pemberian materi pengajaran yang lebih baik, dan interaksi guru siswa yang
lebih baik, membidik pada pengoptimalan keterlibatan dan kerjasama siswa dalam
belajar. Teknik kontrol perilaku atau pendisiplinan pada akhirnya akan tidak
terlalu efektif karena teknik tersebut tidak mendorong perkembangan disiplin
diri atau tanggung jawab anak sendiri atas tindakannya. Nilai-nilai dan
ketrampilan sosial harus diajarkan dan dicontohkan oleh guru.
Seorang pendidik atau guru perlu menguasai banyak faktor yang mempengaruhi
motivasi, prestasi dan perilaku siswa mereka. Lingkungan fisik di kelas, level
kenyamanan emosi yang dialami siswa dan kualitas komunikasi antar guru dan
siswa merupakan faktor penting yang bisa memampukan atau menghambat
pembelajaran yang optimal. Guru bertanggung jawab untuk berbagai siswa,
termasuk mereka dari keluarga yang tidak mampu atau kurang beruntung, siswa
yang mungkin harus bekerja setelah sekolah, atau mereka yang berasal dari
kelompok minoritas etnis, agama atau bahasa atau mereka dengan berbagai
kesulitan atau kecacatan belajar. Tak satupun dari situasi atau faktor ini
harus menyebabkan masalah pendidikan, namun anak-anak ini mungkin beresiko
mendapatkan pengalaman sekolah yang negatif dan tak bermakna jika guru tidak
responsif terhadap kebutuhan dan kemampuan mereka atau mampu menggunakan
pengajaran dan strategi kelas yang efektif dan disesuaikan menurut individu.
Pengelolaan kelas ( classroom management ) berdasarkan pendekatan menurut Weber
diklasifikasikan kedalam dua pengertian, yaitu :
-
berdasarkan pendekatan otoriter, pengelolaan kelas adalah
kegiatan guru untuk mengkontrol tingkah laku siswa, guru berperan menciptakan
dan memelihara aturan kelas melalui penerapan disiplin secara ketat ( Weber )
Bagi sekolah atau guru yang menganut pendekatan otoriter, maka dalam mengelola
kelas guru atau sekolah tersebut menciptakan iklim sekolah dengan berbagai
aturan atau ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh warga sekolah/ kelas.
Walaupun menggunakan pendekatan otoriter, berbagai aturan yang dirumuskan tentu
saja tidak hanya didasarkan pada kemauan sepihak dari pengelola sekolah /kelas
saja, melainkan dengan memasukan aspirasi dari siswa. Hal ini penting mengingat
aturan yang dibuat diperuntukan bagi kepentingan bersama, yaitu untuk menunjang
terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
-
Kedua pendekatan permisif mengartikan pengelolaan kelas
adalah upaya yang dilakukan oleh guru untuk memberi kebebasan untuk siswa
melekukan berbagai aktivitas sesuai dengan yang mereka inginkan. Pengertian
kedua ini tentu saja bertolak belakang dengan pendapat pertama. Menurut
pandangan permisif, fungsi guru adalah bagaimana menciptakan kondisi siswa
merasa aman untuk melakukan aktivitas di dalam kelas, tanpa harus merasa takut
dan tertekan. Komponen-Komponen Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas dilakukan untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang
lebih berkualitas. Oleh karena itu pendekatan atau teori apapun yang dipilih
dan yang dijadikan dasar dalam pengelolaan kelas, harus diorientasikan pada
terciptanya proses pembelajaran secara aktif dan produktif. Untuk mendukung
proses pembelajaran tersebut, maka unsur-unsur pengelolaan meliputi dua
tindakan, yaitu :
a. Preventif , yaitu upaya yang
dilakukan oleh guru untuk mencegah terjadinya gangguan dalam pembelajaran.
Mencegah lebih baik dari pada mengobati. . Implikasi bagi guru melalui kegiatan
preventif ini yaitu sedini mungkin guru mengidentifikasi hal-hal atau
gejala-gejala yang dianggap akan mengganggu pembelajaran
Beberapa upaya atau keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang guru untuk
mendukung terhadap tindakan prteventis antara lain ;
1. Tanggap /peka, sikap tanggap ini ditunjukan oleh kemampuan guru secara dini
mampu dengan segera merespon terhadap berbagai perilaku atau aktivitas yang di
anggap akan mengganggu pembelajaran atau berkembangnya sikap maupun sifat
negatif dari siswa maupun lingkungan pembelajaran lainnya
2. Perhatian yaitu selalu mencurahkan perhatian pada berbagai aktivitas,
lingkungan maupun segala sesuatu yang muncul. Perhatian merupakan salah satu
bentuk keterampilan dan kebiasaan yang harus dimiliki oleh guru.
b. Refrensif, keterampilan
refrensif tidak diartikan sebagai tindakan kekerasan seperti halnya penanganan
dalam gangguan keamanan. Keterampilan refrensif sebagai salah satu unsur dari
keterampilan pengelolaan kelas
c. Modifikasitingkahlaku
• Modifikasi tingkah laku yaitu bahwa setiap tingkah laku dapat diamati. Oleh
karena itu bagaimana dengan tingkah laku yang muncul dengan positif, guru memberi
respon positif agar kebiasaan baik itu lebih kuat dan dapat dipelihara
• Pengelolaan kelompok, untuk menangani permasalahan hendaknya dilakukan secara
kolaborasi dan mengikutsertakan beberapa komponen atau unsur yang terkait
• Diagnisis yaitu suatu keterampilan untuk mencari unsur-unsur yang akan
menjadi penyebab gangguan maupun unsur-unsur yang menjadi kekuatan bagi
peningkatan proses pembelajaran manajemen kelas merupakan usaha sadar untuk
mengatur kegiatan proses belajar mengajar secara sistematis. Usaha sadar itu
mengarah kepada penyiapan bahan belajar, penyiapan sarana dan alat peraga,
pengaturan ruang belajar, mewujudkan situasi dan kondisi proses belajar
mengajar dan pengaturan waktu sehingga pembelajaran berjalan dengan baik dan
tujuan kurikuler dapat tercapai
Manajemen kelas bertujuan untuk:
1. Mewujudkan situasi dan
kondisi kelas, baik sebagai lingkungan belajar maupun sebagai kelompok belajar,
yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan semaksimal
mungkin,
2. Menghilangkan berbagai hambatan yang menghalangi terwujudnya interaksi
pembelajaran,
3. Membantu murid menghabiskan Lebih banyak waktu untuk belajar dan mengurangi
waktu aktiitas yang tidak diorientasikan pada tujuan.
4. mencegah murid mengalami
problem akademik dan emosional.
Menyediakan dan mengatur
fasilitas belajar serta perabot belajar yang mendukung dan memungkinkan siswa
belajar sesuai dengan lingkungan sosial, emosional, dan intelektual siswa di
dalam kelas, serta membina dan membimbing siswa sesuai dengan latar belakang
sosial, ekonomi, budaya, serta sifat-sifat individunya. Ladan bagi peserta
didik dalam melakukan disiplin di kelas. Dalam membina disiplin kelas dengan
pendekatan dalam melakukan aktivitas manajemen kelas untuk pembinaan disiplin
kelas yang berbasis psikologi pendidikan, ada beberapa pendekatan yang dapat
digunakan, yaitu pendekatan otoriter, pendekatan permisif, pendekatan
intruksional, pendekatan pengubahan perilaku, pendekatan sosiol emosional, dan
pendekatan proses kelompok.
Aspek, Fungsi dan Manajemen Kelas
Aktivitas guru yang terpenting adalah memanajemeni,
mengorganisir, dan mengkoordinasikan usaha atau aktivitas peserta didik menuju
tujuan pembelajaran. Didalam manajemen kelas ada aspek yang perlu diperhatikan
yaitu sifat kelas, pendorong kekutan kelas, situasi kelas, tindakan selektif
dan kreatif.
Dalam manajemen kelas ada konsep
dasar yang perlu dicermati yaitu penempatan individu, kelompok, sekolah dan
faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Manajemen kelas memberi makna penting
bagi tercipta dan terpeliharanya kondisi kelas yang optimal, fungsi manajemen
kelas yaitu:
1. Memberi dan melengkapi fasilitas untuk segala macam tugas seperti membantu
kelompok dalam pembagian tugas, membantu pembentukan kelompok, membantu
individu agar dapat bekerja sama dengan kelompok atau kelas, membantu prosedur
kerja, merubah kondisi kelas.
2. Memelihara agar tugas-tugas dapat berjalan lancar.
Manajemen kelas merupakan unsur pendidikan yang biasanya dijadikan perhatian
utama oleh para guru, baik itu baru, maupun guru yang telah berpengalaman.
Alasannya sederhana, karena para guru yang telah berpengalaman dapat mengajar
peserta didiknya dengan optimal. Dengan artian bahwa para guru dapat
mengajar/menyampaian bahan pelajaran yang dapat dan mudah dimengerti oleh para
peserta didik dengan baik.
Manejemen kelas merupakan serangkaian perilaku guru dalam upaya menciptakan dan
memelihara kondisi kelas yang memungkinkan peserta didik belajar untuk mencapai
tujuan belajarnya secara efisien, atau memungkikan peserta didik belajar dengan
baik.
C. PENERAPAN PSIKOLOGI DALAM
PENDIDIKAN
1.
Kognisi
Konsep kognitif (dari bahasa
Latin cognosere, “ untuk mengetahui” atau “untuk mengenali”) merujuk
kepada kemampuan untuk memproses informasi, menerapkan ilmu, dan mengubah
kecenderungan (Nehlig, 2010). Kognisi juga
adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses
berpikir tentang seseorang atau sesuatu.
Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan
dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis,
memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau
kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi. Bidang
ilmu yang mempelajari kognisi beragam, di antaranya adalah psikologi, filsafat,
dan lain-lain.
Kepercayaan/ pengetahuan
seseorang tentang sesuatu dipercaya dapat mempengaruhi sikap mereka dan pada
akhirnya mempengaruhi perilaku/ tindakan mereka terhadap sesuatu. mengubah
pengetahuan seseorang akan sesuatu dipercaya dapat mengubah perilaku mereka.
Gejala kognisi meliputi:
-
Pengamatan
Pengamatan adalah aktivitas yang dilakukan seseorang
yang cerdas, terhadap suatu proses atau objek dengan maksud merasakan dan
kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan
gagasan yang sudah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi
yang dibutuhkan untuk melanjutkan suatu penelitian. Dipandang dari segi arti
menunjukan hal yang sangat berbeda
-
Tanggapan
Yaitu suatu bayangan yang tinggal dalam ingatan
setelah kita melakukan pengamatan. Tanggapan dapat dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu:
§
Tanggapan masa lampau atau
tanggapan ingatan
§
Tanggapan masa datang atau
tanggapan mengantisipasikan
§
Tanggapan masa kini atau tanggapan
representative (mengimajinasikan)
-
Ingatan
Proses dari mengingat adalah menyimpan suatu
informasi, mempertahankan dan memanggil kembali informasi tersebut.
-
Fantasi
Fantasi itu dilukiskan sebagai fungsi yang
memungkinkan manusia untuk berorientasi dalamalam imajinasi melampaui dunia
riil.
-
Berpikir
Berfikir merupakan proses dinamis yang dapat
dilukiskan dengan proses atau jalannya.
-
Intuisi
Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami
sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas
2.
MOTIVASI
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat
menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu
kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi
intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki
individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya,
baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian
tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan
pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya
pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi,
memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya:
·
durasi kegiatan.
·
frekuensi kegiatan.
·
persistensi pada kegiatan.
·
ketabahan, keuletan dan kemampuan
dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan.
·
devosi dan pengorbanan untuk
mencapai tujuan.
·
tingkat aspirasi yang hendak dicapai
dengan kegiatan yang dilakukan.
·
tingkat kualifikasi prestasi atau
produk yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan.
·
arah sikap terhadap sasaran
kegiatan.
Beberapa teori tentang motivasi, antara
lain :
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori
Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan
oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia
mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :
·
kebutuhan fisiologikal (physiological
needs)
seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex
·
kebutuhan rasa aman (safety
needs), tidak dalam arti fisik semata,
akan tetapi juga
mental,
psikologikal dan intelektual.
·
kebutuhan akan kasih sayang (love
needs)
·
kebutuhan akan harga diri (esteem needs),
yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status
·
aktualisasi diri (self
actualization),
Kebutuhan manusia berbeda satu orang
dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. bahwa
kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat
pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Teori klasik Maslow pun semakin
sering dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami koreksi. Penyempurnaan atau
koreksi tersebut diarahkan kepada konsep hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah
hierarki dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak
tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki
suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia,
berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam
hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan
papan terpenuhi.
Berbagai kebutuhan manusia
digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini,
perlu ditekankan bahwa :
·
Kebutuhan yang satu saat sudah
terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang
·
Pemuasaan berbagai kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif
menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
·
Berbagai kebutuhan tersebut tidak
akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana
seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
teori Maslow tentang kebutuhan ini
lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fondasi dan mendalami bagi
pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan selanjutnya
yang lebih bersifat aplikatif.
2.
Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Tentang teori kebutuhan untuk
mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa
motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan
prestasi.. McClelland karakteristik
orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :
-
Sebuah preferensi untuk mengerjakan
tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat
-
Menyukai situasi-situasi di mana
kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena
faktor-faktor lain, seperti kemujuran
-
Menginginkan umpan balik tentang
keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi
rendah.
3.
Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim
“ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari
tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness
(kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan
pertumbuhan).
Teori Alderfer menjelaskan bahwa:
·
Makin tidak terpenuhinya suatu
kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya.
·
Kuatnya keinginan memuaskan
kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah
telah dipuaskan.
·
Sebaliknya, semakin sulit memuaskan
kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk
memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Dan beberapa teorinya lainnya, akan
tetapi faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah :
·
jenis dan sifat pekerjaan
·
kelompok kerja dimana seseorang
bergabung
·
organisasi tempat bekerja
·
situasi lingkungan pada umumnya
·
sistem imbalan yang berlaku dan cara
penerapannya.
3. SOSIOEMOSIONAL
A.
Pengertian dari sosio-emosional.
Sosio berasal dari bahasa Latin yaitu Socius
yang berarti kawan. Emosional berasal dari kata emosi menurut
English and English, Emosi adalah “ A complex feeling state accompanied by
characteristic motor and glandural activies ” ( Suatu keadaan perasaan yang
kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris).
Di dalam emosi bayi terdapat beberapa
macam emosi yaitu: Emosi positif dan emosi negatif.
a) Contoh emosi positif pada bayi: rasa
senang, antusiasme, cinta.
b) Contoh emosi negatif pada bayi: rasa
cemas, marah, rasa bersalah, rasa sedih.
B.
Tahap-Tahap Perkembangan
Sosio-Emosional
Pada
tahap perkembangan emosi awal, pembagian emosi diklasifikasikan menjadi 2:
·
Emosi
Primer, muncul pada manusia dan juga binatang. Yang termasuk dalam emosi primer
ini adalah terkejut, tertarik, senang, marah, sedih, takut, dan jijik. Semua
emosi ini muncul pada usia enam bulan pertama.
·
Emosi
yang disadari (self-concious emotions), yang memerlukan kognisi,
terutama kesadaran diri. Yang termasuk dalam jenis ini adalah empati, cemburu,
dan kebingungan yang muncul pada 1,5 tahun pertama (setelah timbulnya kesadaran
diri), selain itu ada juga bangga, malu, dan rasa bersalah yang mulai muncul
pada 2,5 tahun pertama.
Berikut adalah bagan awal kemunculan dari berbagai emosi:
Emosi Primer
|
3 bulan
|
Senang
Sedih
Jijik
|
2-6 bulan
|
Marah
|
6 bulan pertama
|
Terkejut
|
6-8 bulan
|
Takut- mencapai puncaknya pada usia 18
bulan
|
Emosi
yang Disadari
|
1,5-2
tahun
|
Empati
Cemburu
Kebingungan
|
2,5
tahun
|
Kebanggaan
Malu
Rasa
bersalah
|
1. Masa
Bayi
Bentuk komunikasi emosional awal dari bayi:
a.
Tangisan
Menangis adalah mekanisme
penting yang dimiliki oleh anak yang baru lahir untuk berkomunikasi dengan
dunia luar. Tangisan pertama dari bayi menunjukkan bahwa paru-parunya sudah
terisi udara. Tangisan juga memberi informasi mengenai sistem saraf pusat bayi.
Ada tiga jenis tangisan bayi:
1) Tangisan biasa: pola ritmis yang biasanya terdiri dari
tangisan, diikuti oleh periode diam yang singkat, diikuti oleh desisan singkat
lalu tangisan bernada lebih tinggi dari tangisan awal, lalu istirahat sejenak
sebelum diikuti dengan set berikutnya. Beberapa ahli masalah bayi percaya bahwa
rasa lapar adalah salah satu kondisi yang menyebabkan tangisan ini.
2) Tangisan marah: beberapa variasi tangisan biasa dengan lebih
banyak udara yang dipaksa melewati pita suara.
3) Tangisan kesakitan: tangisan tiba-tiba yang keras dan panjang,
diikuti dengan menahan nafas tidak ada rengekan awal sebelum tangisan ini. Biasanya
disebabkan oleh stimulus dengan intensitas yang tinggi.
b. Senyuman
Tersenyum juga merupakan cara penting dari
seorang bayi untuk mengomunikasikan emosi. Ada dua macam senyuman pada bayi:
1)
Senyuman refleksif: senyuman yang
tidak disebabkan oleh stimulus eksternal dan
biasanya muncul pada masa 1 bulan
awal sesudah kelahiran, biasanya pada saat tidur.
2)
Senyuman sosial: senyuman yang
muncul karena stimulus eksternal, biasanya adalah
wajah yang dilihat oleh bayi yang
masih muda.
Senyuman sosial belum muncul sampai usia
2-3 bulan, meskipun beberapa peneliti percaya bahwa bayi akan meringis sebagai
respons terhadap suara yang didengar bahkan pada usia 3 minggu.
c. Ketakutan
Ketakutan pada bayi ini
biasanya mulai muncul pada usia 6 bulan dan mencapai puncaknya pada usia 18
bulan, ekspresi ketakutan yang paling sering muncul biasanya berkaitan dengan
kecemasan terhadap orang asing (stranger anxiety), di mana seorang bayi
menunjukkan ketakutan dan kegelisahan terhadap orang asing. Hal ini biasanya
muncul secara bertahap. Pertama kali timbul sekitar usia 6 bulan dalam bentuk
reaksi gelisah. Pada usia 9 bulan, ketakutan terhadap orang asing ini sering
kali menjadi lebih intens dan terus meningkat sampai ulang tahun pertama bayi
tersebut.
Tidak semua bayi
menunjukkan kegelisahan ketika menghadapi orang asing. Selain perbedaan
individual, konteks sosial dan karakteristik orang asing tersebut juga
berpengaruh pada ketakutan bayi.
Ketika bayi merasa aman,
mereka akan lebih tahan terhadap kecemasan terhadap orang asing. Bayi akan
lebih berani berhadapan dengan orang asing jika mereka berada di lingkungan
yang familiar. Selain itu, bayi akan lebih tidak menunjukkan kecemasan ketika
mereka berada di pangkuan ibu mereka jika dibandingkan jika mereka duduk dalam
jarak beberapa meter dari sang ibu.
Siapa dan bagaimana
perilaku orang asing tersebut juga mempengaruhi kecemasan pada bayi. Bayi akan
lebih cemas terhadap orang asing yang sudah dewasa jika dibandingkan orang
asing yang masih anak-anak. Mereka juga akan berani berhadapan dengan orang
asing yang menunjukkan sikap bersahabat, ramah, dan menunjukkan senyuman jika
dibandingkan dengan orang asing yang pasif dan tidak tersenyum.
Selain kecemasan terhadap orang
asing, bayi juga mengalami ketakutan akan berpisah dengan pengasuhnya. Hal ini
akan menyebabkan separation protest-menangis ketika ditinggalkan oleh
pengasuhnya. Permulaan Separation protest yang dilakukan oleh bayi
berbeda-beda tergantung pada kebudayaan mereka serta sikap sensitif orang tua
mereka terhadap sinyal yang mereka berikan. Penelitian terkini menunjukkan
bahwa ibu dari bayi yang memiliki seperation protest yang tinggi adalah
orang tua yang terlalu sensitif terhadap sinyal negatif dari bayi tetapi kurang
sensitif terhadap sinyal positif dari bayi tersebut. Namun puncak separation
protest yang dilakukan bayi adalah hampir sama di berbagai kebudayan, yaitu
berkisar pada usia 13- 15 bulan.
Selain beberapa emosi yang telah
dipaparkan di atas, ada beberapa bentuk komunikasi lain yang dilakukan oleh
bayi untuk mengekspresikan emosinya, antara lain:
·
Marah
meliputi:
menjerit, meronta-ronta, menendang, mengibaskan tangan, memukul,
berguling-guling, meronta, serta menahan napas. Penyebabnya karena keinginannya
dihalangi.
·
Rasa
ingin tahu
dengan cara memegang benda-benda yang ingin diketahuinya.
·
Gembira
meliputi:
tersenyum, tertawa, menggerak-gerakkan tangan dan kaki, serta berteriak-teriak
dengan mata berbinar-binar. Penyebabnya karena ia diajak bercanda, digelitik,
diajak main, serta mendapat benda atau permainan yang disenanginya.
·
Menyenangi
sesuatu
meliputi
memeluk, mendekap, menepuk-nepuk, serta mencium segala sesuatu yang
disenanginya.
Ada pula beberapa reaksi
yang dilakukan oleh bayi bila berhadapan dengan orang di sekitarnya, antara
lain:
a.
Reaksi Sosial Bayi kepada Bayi Lain
Terdapat beberapa sikap yang
dilakukan oleh bayi untuk mencoba menarik perhatian bayi lain, di antaranya
adalah:
-
Bayi berumur 4-7 bulan melambungkan
badan ke atas dan ke bawah, menendang,
tertawa,
bermain-main dengan ludah, tersenyum dengan bayi lain.
- Bayi berumur sekitar 9-13 bulan
berusaha meremas baju dan rambut bayi lain,
bermain-main bersama, walaupun
kadang berebut mainan.
- Bayi berumur sekitar 13-24 bulan
berebut mainannya sudah berkurang, mereka
sudah lebih senang bekerja sama
dalam bermain, sudah mau berbagi rasa dan
melakukan hubungan sosial.
b.
Reaksi Sosial Bayi kepada Orang
Dewasa
- Bayi berumur 2-3 bulan tampak tidak
senang, terkadang menangis bila ditinggal
sendirian. Sebaliknya, ia
akan senang, tersenyum bila didekati oleh seseorang,
siapapun orangnya.
- Bayi berumur sekitar 4-5 bulan ingin
ditimang oleh siapa saja yang
mendekatinya. Selama itu,
bayi mempelajari dan memperhatikan orang yang mendekat dan menghafalkan ciri-cirinya.
Hanya seseorang yang memiliki ciri yang menyenangkan yang berhasil mendekati
sang bayi karena bayi akan takut bila didekati oleh seseorang yang memiliki
ciri tidak menyenangkan.
- Bayi berumur sekitar 6-7 bulan hanya
tertarik pada orang tertentu.
Bayi tidak hanya mengekspresikan emosi, namun
juga membaca tanda emosi
dari orang lain.
Referensi sosial adalah cara membaca petunjuk emosional
dari orang lain sebagai
referensi bagaimana berperilaku dalam situasi
tertentu.
Perkembangan
dalam aspek referensi sosial ini membantu bayi menginterpretasikan situasi
ambigu secara lebih akurat- misalnya ketika mereka berhadapan dengan orang
asing- apakah mereka harus merasa takut atau tidak terhadap orang tersebut.
Kemampuan melakukan referensi sosial ini akan
berkembang dengan lebih baik pada tahun kedua. Di usia ini, mereka cenderung
untuk “mengonfirmasi” ibu mereka sebelum mereka melakukan sesuatu; mereka
melihat apakah ibu mereka terlihat senang, marah, atau takut.
Selain itu, dalam kurun waktu satu tahun pertama, bayi mulai
mengembangkan kemampuan untuk menahan atau mengurangi intensitas dan durasi
reaksi emosional. Dari masa awal kehidupannya, bayi sudah bisa meletakkan
jempol dalam mulut untuk menenangkan dirinya. Meskipun begitu, biasanya bayi
tetap bergantung kepada pengasuhnya untuk menenangkan reaksi emosi yang
dirasakannya, terutama di masa awal kehidupan, seperti dengan mengayun-ayunkan
bayi ketika menidurkan, menyanyikan lagu nina bobo, membelai-belai, dan lain
sebagainya. Para ahli perkembangan percaya bahwa akan sangat baik untuk
menenangkan bayi sebelum keadaan emosinya menjadi terlalu intens, terguncang,
dan tidak terkontrol.
Pada periode berikutnya,
ketika seorang bayi merasakan rangsangan emosi tertentu, mereka kadang-kadang
mengalihkan atau memecah atensi mereka untuk mengurangi rangsangan tersebut.
Pada usia 2 tahun, seorang balita sudah mampu menggunakan bahasa untuk
menjelaskan keadaan emosi dan konteks situasi yang mengganggu mereka. Seorang
balita mungkin akan berkata “Takut. Anjing galak”. Jenis komunikasi seperti ini
akan membantu pengasuh dalam membantu anak mengatur emosi mereka.
Konteks
juga dapat mempengaruhi pengaturan emosi. Bayi akan sangat mudah terpengaruh
oleh kelelahan, rasa lapar, waktu, orang-orang yang ada di sekitar, dan juga
lingkungan di mana mereka sedang berada. Bayi harus belajar untuk beradaptasi
terhadap berbagai macam konteks yang memerlukan pengaturan emosi. Seiring
dengan bertambahnya usia, bayi akan menghadapi tuntutan-tuntutan baru dan juga
menghadapi perubahan ekspektasi dari orang tua. Sebagai contoh, jika seorang
bayi berusia 6 bulan tiba-tiba menjerit di tengah restoran, orang tuanya akan
menganggap hal ini wajar, tapi tidak jika anak yang menjerit itu sudah berusia
1½ tahun misalnya.
2.
Masa Kanak-Kanak Awal
Pada
masa ini, emosi yang dilakukan adalah termasuk dalam emosi yang disadari.
Ekspresi dari emosi-emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai memahami dan
menggunakan peraturan dan norma sosial untuk menilai perilaku mereka.
·
Rasa
bangga muncul
ketika anak merasakan kesenangan setelah sukses melakukan perilaku tertentu.
Rasa bangga sering kali diasosiakan dengan pencapaian suatu tujuan tertentu.
·
Rasa
malu muncul
ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi standar atau target tertentu.
Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa bersembunyi atau
menghilang dari situasi tersebut. Rasa malu biasanya berhubungan dengan
serangan terhadap self dan dapat mengakibatkan kebingungan dan membuat
anak tidak mampu berkata-kata. Tubuh anak yang mengalami rasa malu ini biasanya
akan terlihat seperti “merengut” seolah-olah ingin menghindar dari tatapan
orang lain. Rasa malu bukan merupakan hasi dari situasi tertentu tetapi lebih
disebabkan oleh interpretasi individu terhadap kejadian tertentu.
Hasil sebuah penelitian menunjukkan
bahwa anak perempuan akan lebih menunjukkan perasaan malu dan bersalah jika
dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan di antara gender ini sangat menarik
karena biasanya anak perempuan adalah pihak yang lebih rentan terhadap
internalisasi seperti kecemasan dan depresi, di mana salah satu ciri khasnya
adalah perasaan malu dan kritik terhadap diri yang berlebihan.
·
Rasa
bersalah biasanya
muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah kegagalan. Perasaan malu
dan bersalah memiliki karakteristik fisik yang berbeda. Ketika seorang anak
menunjukkan rasa malu, mereka seolah-olah mengecilkan tubuh mereka seperti
ingin bersembunyi, sedangkan ketika mereka mengalami perasaan bersalah, mereka
biasanya melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki
kegagalan mereka
·
Rasa
marah muncul
ketika anak sedang bermain dengan teman sebayanya, lalu terjadi perebutan
mainan oleh salah satu pihak, mungkin juga karena keinginannya tidak tercapai,
ataupun karena ada serangan dari anak lain. Ekspresi yang biasa muncul adalah
menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat, dan memukul.
·
Rasa
takut dirasakan
ketika ia mendengar cerita yang menyeramkan, melihat gambar, melihat TV,
mendengarkan radio, maupun melihat orang yang sedang marah-marah. Ia biasanya
langsung panik, lari, menghindar, bersembunyi, maupun menangis.
·
Rasa
cemburu biasa
diungkapkan dengan pura-pura sakit, nakal, maupun regresi (melakukan hal-hal
yang dulu pernah dilakukan dan menarik perhatian, misalnya ngompol lagi setelah
lama tidak ngompol). Penyebab umumnya adalah karena perhatian orang tua beralih
kepada orang lain, misalnya adiknya yang baru lahir. Anak biasa mengekspresikan
Rasa ingin tahunya dengan banyak bertanya. Ia ingin mengetahui
hal-hal yang baru, juga ingin mengetahui tubuhnya sendiri.
·
Iri
hati juga bisa mereka rasakan. Jika
emosi ini sedang muncul, maka ia akan mengeluh tentang hal-hal yang dimiliki,
mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang orang lain, ataupun bahkan
mengambil benda yang ingin dimilikinya. Ia sering iri hati mengenai kemampuan
atau barang yang dimiliki orang lain.
·
Gembira dapat mereka rasakan tatkala ia
sedang sehat, mendengar bunyi yang tiba-tiba, ataupun berhasil melakukan tugas
yang dianggapnya sulit. Ungkapannya adalah dengan tersenyum, tertawa, bertepuk
tangan, melompat-lompat, memeluk benda atau orang yang membutanya bahagia.
Ia
juga bisa merasakan Sedih kehilangan sesuatu yang disayanginya. Ia akan
menangis dan kehilangan gairah mengerjakan kegiatan sehari-hari.
Ia mulai belajar untuk mencintai
sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia mengungkapkan Kasih sayangnya dengan
memeluk, menepuk, mencium obyek yang disayangi dengan kasih sayang, mengajak
bicara dengan mesra, mengelus-elus binatang yang disayangi dan menggendongnya.
Perkembangan emosi evaluatif yang disadari ini sangat dipengaruhi oleh respons
orang tua terhadap perilaku anak. Sebagai contoh, seorang anak akan mengalami
perasaan bersalah ketika orang tua berkata “Kamu seharusnya tidak boleh
menggigit kakakmu”.
Beberapa
di antara perubahan penting dalam perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal
adalah meningkatnya kemampuan untuk membicarakan emosi diri dan orang lain dan
peningkatan pemahaman tentang emosi. Mereka juga mulai belajar mengenai
penyebab dan konsekuensi dari perasaan-perasaan yang dialami.
Ketika menginjak usia 4-5 tahun, anak-anak mulai menunjukkan peningkatan
kemampuan dalam merefleksi emosi. Mereka juga mulai memahami bahwa mereka harus
mengatur emosi mereka untuk memenuhi standar sosial.
Orang tua, guru, dan orang dewasa lain di sekitarnya dapat membantu anak-anak
memahami dan mengontrol emosi mereka. Para orang dewasa dapat berbicara dengan
anak-anak untuk membantu mereka mengatasi stres, kesedihan, kemarahan, atau
perasaan bersalah. Belajar mengekspresikan emosi tertentu dan menutupi emosi
yang lain, adalah pelajaran yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari
anak-anak. Seorang anak yang marah jika harus menunggu sesuatu atau tertawa
ketika melihat anak lain menangis karena terjatuh, dapat diajarkan untuk
memahami perasaan anak lain. Seorang anak yang terlalu menonjolkan
kemenangannya dalam sesuatu hal dapat diingatkan bahwa rasanya sangat menyedihkan
bagi pihak yang kalah.
Kemampuan mengatur emosi adalah keterampilan penting yang akan membantu
hubungan anak dengan teman sebaya. Anak-anak yang moody dan
memiliki emosi negatif akan mengalami penolakan yang lebih besar dari teman
sebaya mereka. Sedangkan anak-anak dengan emosi positif akan menjadi populer
karena mereka mampu meningkatkan kompetensi sosial mereka serta merespon dengan
cara yang lebih kompeten secara sosial ketika mereka diprovokasi secara
emosional oleh teman sebaya, dengan cara mengatur emosi mereka.
Berikut adalah rangkuman karakteristik komunikasi dan pemahaman anak kecil
mengenai emosi:
Rentang
Usia
|
Deskripsi
|
2-4
tahun
|
Peningkatan pesat kosa kata
mengenai emosi
Penamaan emosi diri dan orang lain
dengan tepat dan juga dapat membicarakan emosi yang dialami pada masa lalu,
sekarang, dan yang akan datang.
Dapat membicarakan penyebab dan
konsekuensi dari emosi tertentu, dan juga mengidentifikasi hubungan emosi
dengan situasi tertentu.
Dapat menggunakan bahasa emosi
pada permainan pura-pura.
|
5-10
tahun
|
Menunjukkan peningkatan kemampuan
untuk melakukan refleksi secara verbal tentang hubungan emosi dengan situasi
tertentu.
Memahami bahwa sebuah kejadian
yang sama dapat menyebabkan perasaan yang berbeda pada orang yang berbeda,
dan kadang-kadang perasaan dapat bertahan lama setelah kejadian yang
menyebabkannya.
Menunjukkan tingkat kesadaran yang
lebih tinggi dalam mengatur dan mengontrol emosi sesuai dengan standar social/
|
3.
Masa kanak-kanak madya dan
kanak-kanak akhir
Berikut
ini adalah beberapa perubahan yang penting dalam perkembangan emosi pada masa
kanak-kanak madya dan akhir.
ü Peningkatan kemampuan untuk memahami
emosi kompleks, misalnya kebanggaan dan rasa malu. Emosi-emosi ini menjadi
lebih terinternalisasi (self-generated) dan terintregasi dengan tanggung
jawab personal.
ü Peningkatan pemahaman bahwa mungkin
saja seseorang mengalami lebih dari satu emosi dalam situasi tertentu.
ü Peningkatan kemampuan untuk menekan
atau menutupi reaksi emosional yang negatif.
ü Penggunaan strategi personal untuk
mengalihkan perasaan tertentu, seperti mengalihkan atensi atau pikiran ketika
mengalami emosi tertentu.
4.
Masa Remaja
Masa
remaja merupakan masa yang sulit secara emosional. Tidak selamanya seorang
remaja berada dalam situasi “badai dan stress”, tetapi fluktuasi emosi dari
tinggi ke rendah memang meningkat pada masa remaja awal. (Rosenblum &
Lewis, 2003).
Seorang
remaja bisa saja merasa di puncak dunia pada suatu saat namun merasa tidak
berharga sama sekali pada waktu berikutnya. Seorang remaja akan sering merajuk
tidak tahu bagaimana mengekspresikan emosi mereka. Hanya dengan sedikit atau
bahkan tanpa provokasi sama sekali, mereka bisa saja meledak di depan orang tua
atau saudara-saudara mereka.
Reed
Larson dan Maryse Richards (1994) menemukan bahwa remaja melaporkan emosi yang
lebih ekstrem dan lebih berubah-ubah dibandingkan orang tua mereka. Sebagai
contoh, seorang remaja lima kali lebih mungkin untuk menyatakan dirinya “sangat
bahagia” dibandingkan dengan orang tua mereka. Penemuan ini mendukung pandangan
yang menyatakan remaja adalah orang yang sangat moody dan mudah
berubah-ubah emosinya. (Rosenblum & Lewis, 2003)
Sangat
penting bagi orang dewasa untuk menyadari bahwa moody adalah aspek
normal dari masa remaja awal, dan kebanyakan remaja akan melalui masa ini untuk
kemudian berkembang menjadi orang dewasa yang berkompeten.
Meskipun
begitu, untuk remaja tertentu emosi-emosi yang dialami pada masa ini dapat
menyebabkan masalah yang serius, terutama remaja perempuan yang lebih rentan
terhadap depresi. (Nolen-Hoeksema, 2004)
Adanya
fluktusi emosi pada masa remaja awal mungkin berhubungan denga perubahan
hormonal pada masa ini. Mood akan menjadi lebih tidak ekstrem seiring dengan
beralihnya remaja menjadi orang dewasa, dan penurunan ini mungkin saja
berhubungan dengan adanya adaptasi terhadap kadar hormon yang ada dalam tubuh.
Meskipun begitu, kebanyakan peneliti menyimpulkan bahwa hormon hanya memiliki
sedikit peranan kecil. Biasanya faktor ini beasosiasi dengan faktor-faktor lain
seperti stres, pola makan, aktivitas seksual, dan hubungan sosial. (Rosenblum
& Lewis, 2003).
Teori Psikososial Erikson
Teori
perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam
psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang
dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan
psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego.
Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi
sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman
dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat
membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson
disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Ericson
memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8
(delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya
bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat
berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam
teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika
tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika
tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan
perasaan tidak selaras.
Dalam
setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang
merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik
ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk
mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi
meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Tahap 1. Trust vs
Mistrust (percaya vs tidak percaya)
Terjadi
pada usia 0 s/d 18 bulan.
Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara
kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam
hidup. Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan
pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman
dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional,
atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di
asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan
kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy)
VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
Terjadi
pada usia 18 bulan s/d 3 tahun.
Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi
selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari
pengendalian diri.
Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah
bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup
berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh
seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih
yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian. Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri,
sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap
diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah
(Guilt)
Terjadi
pada usia 3 s/d 5 tahun. Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan
kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi
sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial
yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin
orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah,
perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak
menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat
merasa sangat cemas.
Erikson
yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa
berhasil.
Tahap 4. Industry vs
inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
Terjadi
pada usia 6 s/d pubertas. Melalui interaksi sosial, anak
mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka. Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan
kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya. Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua,
guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untukberhasil.
prakarsa yangdicapaisebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat denganpengalaman-pengalaman
baru. Ketika beralih ke masa pertengahan
dan akhir kanak-kanak, mereka
mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan
intelektual.
Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar
adalah berkembangnyarasa rendah
diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak
produktif. Erikson
yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
Tahap 5. Identity vs
identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
Terjadi
pada masa remaja, yakni
usia 10 s/d 20 tahun. Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya. Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan
kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
Anak
dihadapkan memiliki banyak
peran baru dan status sebagai orang dewasa
–pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus
mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu
peran khusus.
Jika remaja menjajaki peran-peran
semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan,
identitas positif akan dicapai. Jika suatu identitas remaja ditolak
oleh orangtua, jika
remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan
positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela. Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi
personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam
tahap ini. Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan
hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa
depannya.
Tahap 6. Intimacy vs
isolation (keintiman vs keterkucilan)
Terjadi
selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun) Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan
yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain. Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit
dan aman.
Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan
hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin
suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan
depresi.
Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak
dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity vs
Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
Terjadi
selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun). Selama masa ini,
mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga. Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka
berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta
komunitas.
Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak
terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs
depair (integritas vs putus asa)
Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun). Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu. Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya
percuma dan mengalami banyak penyesalan. Individu akan merasa kepahitan
hidup dan putus asa
Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan
keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami. Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Sosio-Emosional.
Dalam
perkembangan sosio-emosional anak, tentu ada beberapa faktor yang ikut
mempengaruhinya. Ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan sosio-emosional
anak yaitu:
1.
Perlakuan
dan Cara Pengasuhan Orang Tua
Secara garis
besar ada tiga tipe gaya pengasuhan orang tua yakni otoriter, permisif, dan
otoritatif.
Tipe
|
Perilaku Orang Tua
|
Karakteristik Anak
|
Otoriter
|
Kontrol yang ketat dan
penilaian yang kritis terhadap perilaku anak, sedikit dialog (memberi dan
menerima) secara verbal, serta kurang hangat dan kurang terjalin secara
emosional
|
Menarik diri dari pergaulan
serta tidak puas dan tidak percaya terhadap orang lain.
|
Permisif
|
Tidak mengontrol, tidak
menuntut, sedikit menerapkan hukuman dan kekuasaan, penggunaan nalar, hangat
dan menerima
|
Kurang dalam harga diri,
kendali diri, dan kecenderungan untuk bereksplorasi
|
Otoritatif
|
Mengontrol, menuntut,
hangat, reseptif, rasional, berdialog (memberi dan menerima) secara verbal,
serta menghargai disiplin, kepercayaan diri, dan keunikan
|
Mandiri, bertanggung jawab
secara sosial, memiliki kendali diri, bersifat eksplloratif, dan percaya diri
|
2. . Kesesuaian
antara bayi dan pengasuh
Dalam proses
interaksi antara pengasuh dan anak, perilaku mereka bisa saling mempengaruhi
dan menyesuaikan diri satu sama lain sehingga ada penyesuain diri antar
masing-masing. Jika terjadi ketidakcocokan antara pengasuh dan anak maka akan
berdampak anak mengalami stres, murung, frustasi, dan bahkan menimbulkan rasa
kebencian. Jadi pengasuh harus benar-benar bisa menangkap respon apa yang sang
anak inginkan, agar terjadi jalinan kasih sayang antara mereka, dan tidak
menimbulkan rasa benci
3. Temperamen
bayi
Temperamen
bayi merupakan salah satu hal yang harus dipahami oleh sang pengasuh agar bisa
terjalin hubungan yang akrab antara pengasuh dan anak. Ada tiga gaya perilaku
bayi yakni bayi yang mudah, bayi yang sulit dan bayi yang lamban. Ciri bayi yang
mudah adalah memiliki keteraturan, adaptif, bahagia dan mau mendekati objek
atau orang baru. Bayi yang sulit cenderung tidak teratur, tidak senang terhadap
perubahan situasi, sering menangis, menempakkan perasaan negative. Sedangkan
bayi yang lamban adalah bayi yang cenderung kurang adaptif, menarik diri,
kurang aktif dan intensitas respon kurang.
4. Perlakuan
guru di sekolah
Apa
yang guru perbuat di sekolah akan berpengaruh terhadap anak didiknya. Perlakuan
guru terhadap anak memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap
perkembangan sosioemosional anak. Pengaruh guru tidak hanya pada aspek kognitif
anak, tetapi juga segenap perilaku dan pribadi yang ditampilkan guru di depan
anak didiknya, karena secara langsung hal tersebut bisa menjadi
pengalaman-pengalaman anak.
E.
Masalah –Masalah dalam Perkembangan
Sosio-Emosional serta Solusinya.
Kadang-kadang emosi tertentu
dapat menimbulkan masalah besar bagi anak-anak. Kita akan berfokus kepada 2
masalah depresi dan bunuh diri. Kita juga akan menelusuri stres yang ada pada
kehidupan anak-anak dan cara-cara agar mereka dapat mengatasinya dengan
efektif.
1.
Depresi
Depresi
adalah gangguan mood di mana seseorang merasa tidak bahagia, tidak bersemangat.
memandang rendah diri sendiri, dan merasa sangat bosan. Individu merasa selalu
tidak enak badan, gampang kehilangan stamina, selera makan yang buruk, tidak
bersemangat, dan tidak memiliki motivasi.
a. Depresi pada Masa Kanak-kanak
Pada
masa kanak-kanak perilaku yang berhubungan dengan depresi sering kali lebih
luas jika dibandirigkan dengan pada orang dewasa, hal mi rnenyebabkan diagnosis
menjadi lebih sulit (Weiner, 1980). Banyak dari anak yang depresi menunjukkan
agresi, kecemasan. prestasi yang buruk di sekolah, perilaku antisosial, dan
juga hubungan yang buruk dengan teman sebaya.
Ada beberapa sebab timbulnya
depresi pada masa kanak-kanak dianggap menimbulkan hal ini: Biologis, kognitif
dan lingkungan. Dan berbagai pandangan mengenai hal ini ada tiga pandangan yang
mendapat perhatian, yaitu teori perkembangan Bowlby, teori kognitif Beck, dan
teori learned helplessness dari Seligman.
John
Bowlby (1969. 1989) menyatakan bahwa attachment yang insecure. kurangnya cinta
kasih dan afeksi dalam pengasuhan anak, atau kehilangan orang tua pada masa
kanak-kanak mengakibatkan anak mengembangkan skema kognitif yang negatif. Skema
mi akan terus dibawa dan mempengaruhi bagaimana pengalaman yang akan datang
akan diinterpretasi. Ketika pada pengalaman yang akan datang anak juga
mengalami kehilangan tertentu. anak akan menginterpretasikan kehilangan ini
sebagai kegagalan dalam membina hubungan positif. dan biasanya hal mi akan
menyulut timbulnya depresi.
Dalam pandangan kognitif
Aaron Beck (1973), individu akan depresi jika pada masa awal perkembangannya
mereka membentuk skema kognitif yang ditandai dengan devaluasi diri dan tidak
percaya diri mengenai masa depan. Mereka biasanya memiliki pemikiran-pemikiran
yang negatif, dan pemikiran negatif ini akan meningkatkan pengalaman negatif
dan individu tersebut. Anak yang depresi akan menyalahkan diri sendiri secara
berlebihan.
Dalam pandangan Beck. depresi
pada anak dilihat sebagai hasil perkembangan dari dua kecenderungan kognitif:
(1)
Anak terlalu memperhatikan petunjuk negatif di lingkungan
(2)
mengidentifikasi diri mereka sebagai sumber dan kejadian negatif.
Teori Martin Seligman
mengenai depresi adalah learned helplessness. Yaitu ketika seorang individu
mengalami pengalaman negatif dan mereka tidak memiliki kontrol rnengenai hal
tersebut seperti ketika dihadapkan dengan stres dan rasa kesakitan yang panjang
mereka akan lebih mungkin untuk mengalarni depresi. (Seligman. 1975).
b.
Depresi pada Orang tua
Depresi biasanya dianggap
sebagai masalah individual. Tetapi peneliti menemukan adanya saling keterikatan
antara orang yang depresi dan konteks sosial mereka. Saling ketergantungan ini
sangat penting terutama dalam kasus Depresi pada orang tua dan bagaimana
penyesuaian diri anak (Downey & Coyne, 990).
Depresi adalah gangguan
dengan prevalensi yang sangat tinggi-sedemikian tingginya sehingga sering
disebut flunya gangguan mental. Di antara wanita dalam usia subur, depresi
timbul dengan tingkat sekitar 8 persen, dan 12 persen pada wanita yang baru saja
melahirkan. Dan hal ini bisa kita lihat ada banyak anak-anak yang memiliki
orang tua yang depresi.
Efek apa yang dapat
ditimbulkan dari hamil Ibu yang depresi menunjukkan tingkat perilaku yang lebih
rendah dan menunjukkan afeksi yang lebih terbatas; mereka melakukan strategi
kontrol yang mereka anggap tidak menyusahkan mereka, bahkan kadang-kadang
bersikap negatif dan mengancam terhadap bayi mereka.
c. Depresi pada Remaja
Depresi lebih mungkin terjadi
pada masa remaja dibandirigkan pada masa kanak-kanak, dan remaja putri memiliki
tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra. (Blatt,
2004; Graber. 2004; Nolen-Hoeksema, 2004, 2007).
Beberapa penyebab dan perbedaan antar jenis
kelamin ini adalah:
Remaja putri cenderung untuk tenggelam dalam
depresi mereka sehingga menguatkan depresi tersebut.
Self-image dan remaja putri, terutama body imagenya, cenderung lebih negatif
dibandirigkan dengan remaja putra.
Puber terjadi lebih cepat pada remaja putri jika dibandirigkan dengan
remaja putra, sehingga remaja putri mengalami berbagai perubahan pengalaman
hidup yang sangat banyak pada masa-masa SMP, yang dapat meningkatkan depresi.
Beberapa faktor dalam
keluarga juga rnenyebabkan remaja riskan untuk mengalami depresi beberapa
faktor ini seperti orang tua yang juga mengalami depresi, orangtua yang tidak
memberikan dukungan emosional, orang tua yang memiliki konflik perkawinan yang
tinggi. dan juga orang tua yang memiliki masalah keuangan.
Hubungan teman sebaya yang
buruk juga berhubungan dengan depresi pada remaja. Lebih jelasnya,
kecenderungan untuk mengalami depresi pada remaja berhubungan dengan ketiadaan
hubungan yang erat dengan sahabat, jarangnya berhubungan dengan teman, dan
penolakan dan teman sebaya.
Perceraian orang tua
merupakan salah satu contoh pengalaman tersebut. Hal ini meningkatkan simptom
depresi pada remaja. Selain itu remaja yang mengalami puber tepat pada saat
mereka baru lulus SD dan masuk ke SMP mengalami depresi yang lebih tinggi jika
dibandirigkan dengan remaja yang baru mengalami puber setelah masuk SMP.
2. Bunuh Diri
Perilaku bunuh diri sangat
jarang terjadi pada masa kanak-kanak, tetapi meningkat sangat tajam pada masa
rernaja awal.
Remaja yang seperti apakah
yang lebih memiliki kecenderungan untuk bunuh diri? Semakin dekat hubungan
genetis seseorang dengan orang yang melakukan bunuh diri, semakin mungkin orang
tersebut untuk juga melakukan bunuh diri. Remaja putri lebih mungkin untuk
melakukan percobaan bunuh diri dibandirig remaja putra, tetapi remaja putra
lebih mungkin untuk berhasil dalam bunuh diri tersebut.
Remaja pria biasanya menggunakan cara-cara
yang lebih mematikan seperti menggunakan senjata api, sementara remaja putri
lebih mungkin melakukan percobaan bunuh diri yang tidak langsung mematikan
seperti dengan memotong urat nadi atau menelan pil tidur berlebihan.
Remaja pada populasi seksual minoritas
(homo, lesbian, dan biseksual) sangat rentan terhadap bunuh diri in laporan
awal menunjukkan bahwa remaja ini 3 sampai 7 kali lebih rnungkin untuk
melakukan percobaan bunuh diri jika dibandirigkan dengan remaja heteroseksual.
Remaja tersebut mungkin saja
memiliki sejarah ketidak stabilan dan .ketidakbahagiaan dalam keluarga. Sama
seperti kekurangan afeksi dan dukungan emosional, tingkat kontrol yang terlalu
tinggi dan tekanan berprestasi yang terlalu berlebihan dan orang tua pada masa
kanak-kanak. menjadi hal-hal menyebabkan depresi pada remaja. kombinasi dan hal
ini juga muncul sebagai faktor yang menyebabkan percobaan bunuh diri. Biasanya
remaja ini juga kekurangan hubungan pertemanan yang suportif.
Meskipun tidak semua remaja
yang depresi melakukan percobaan bunuh diri, depresi tetap menjadi faktor yang
dianggap sebagai pencetus bunuh diri pada remaja. Perasaan tidak adanya adanya
harapan. self-esteem yang rendah, serta self -blame yang tinggi
juga dianggap berhuhungan dengan perilaku bunuh diri pada remaja.
Perhatian yang muncul
akhir-akhir ini mengenai perilaku bunuh diri pada remaja adalah keterkaitan
antara obat antidepresan dan pemikiran untuk melakukan bunuh diri.
3.
Stres dan Coping
Stres adalah respons individu
terhadap situasi atau peristiwa (disebut stresor) yang mengancam dan melebihi
kemampuan coping mereka. Faktor kognitif, kejadian sehari-hari, dan juga faktor
sosiokultural merupakan hal-hal yang berhubungan dengan stres pada anak-anak.
Ø Faktor Kognitif
kebanyakan orang berfikir
bahwa stres hanya terjadi ketika ada hal-hal yang menuntut diri kita seperti
ketika akan ujian, terlibat kecelakaan atau ketika kehilangan seorang teman. Penilaian
kognitif (cognitis appraisal) adalah istilah yang digunakan oleh Lazarus
untuk menjelaskan interpretasi anak terhadap kejadian-kejadian dalam hidup
mereka yang dianggap berbaha mengancam atau menantang. dan pemahaman mereka
apakah mereka memiliki sumber daya yang cukup untuk mengatasi kejadian
tersebut.
Kejadian dan Masalah Sehari-hari
Anak-anak mengalami jangkauan
stresor yang sangat luas, mulai dari yang biasa sampai yang sangat parah.
Stresor yang biasa ini adalah pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari
anak-anak, dan karena hal ini adalah hal yang umum dijumpai maka biasanya sudah
tersedia pola coping , yang sangat baik.
Ø Faktor Sosiokultural
salah satu faktor
Sosiokultural yang berhubungan dengan stress adalah stress yang diakibatkan
akulturasi dan juga kemiskinan. Stress disebabakan proses akulturasi adalah
konsekuensi negative dari perubahan budaya yang disebabkan adanya
persinggungan dua budaya yang berbeda yang berlangsung lama.
Anak-anak imigran dapat
saja mendapati bahwa teman sekolahnya tidak ada yang rnengetahui permainan masa
kecil mereka, mereka diolok-olok karena aksen bicara mereka, atau cara
berpakaian mereka yang berbeda. Seorang remaja putri yang tumbuh di Amerika
tetapi kedua orang tuanya adalah imigran dan sebuah kebudayaan yang tradisional
dan konservatif dapat saja mengalami kebimbangan apakah harus mengikuti cara
berpakaian sesuai dengan keinginan orang tua mereka atau mengikuti gaya busana
teman sebaya mereka.
Ketika keluarga
Afro-Amerika atau Latin pindah ke lingkungan yang mayoritas penduduknya adalah
orang kulit putih. anak-anak mereka dapat menjadi korban isolasi atau menjadi
korban kekerasan.
Kemiskinan menyebabkan stres
yang cukup besar bagi seorang anak dan juga keluarga mereka (McLoyd. 2000).
Jika dibandingkan dengan anak lain, anak dan keluarga yang miskin lebih mungkin
mengalami kejadian yang mengancam dan tidak bisa dikontrol. Tempat tinggal yang
tidak memadai, lingkungan tempat tinggal yang berbahaya, tugas-tugas tambahan
yang memberatkan, dan juga ketidakpastian ekonomi adalah stresor yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan kaum miskin (Brooks-Gunn, Leventhal, & Duncan,
2000).
Kemiskinan biasanya dialami
oleh anak dan etnis minonitas dan juga keluarga mereka. Banyak orang yang
miskin hanya merasakan kerniskinan tersebut selama satu atau dua tahun.
Meskipun begitu orang-orang Afro Amerika dan juga keluarga dengan kepala
keluarga wanita lebih riskan untuk mengalami kemiskinan yang berlanjut.
Coping terhadap stres Belajar melakukan coping terhadap stres
adalah aspek penting dan kehidupan emosional anak-anak.
Para peneliti percaya bahwa akan lebih
menguntungkan bagi anak jika mereka melakukan pendekatan pemecahan masalah
(problem solving) terhadap stress dibandingkan dengan lari atau menghindari
stres tersebut (Bridges, 2003: Folkman & Moskowitz, 2004; Lazarus &
folkman, 1984). Sebagai contoh. seorang anak yang merespons nilai jelek dalam
ulangan dengan rnenambah jam belajar mereka dan mencari teknik belajar yang
lebih efektif akan Iebih mungkin melakukan coping yang efektif jika
dibandingkan dengan anak yang berpura-pura sakit ketika ulangan berikutnya
tiba.
Sangat penting bagi pengasuh
untuk membantu anak melakukan coping secara efektif. Selain itu, juga perlu
mendorong anak untuk aktif dan rnemilih strategi pemecahan masalah dalam
menghadapi stres. Dengan cara ini pengasuh dapat (1) menghilangkan setidaknya
satu stresor dari anak dan (2) mengajarkan anak berbagai strategi coping yang
baik.
Ketika anak menghadapi beberapa
stresor dalam waktu yang bersamaan, biasanya stres yang dihasilkan bukan
merupakan akumulasi dan stres tersebut, tetapi adalah perkalian dan
stresor-stresor tersebut (Rutter, 1979). Satu stresor akan melipat
gandakan efek dan stresor yang lain. Dengan hanya menghilangkan satu
elemen stresor. dapat membantu anak menjadi merasa lebih kuat dan kompeten.
PERKEMBANGAN SOSIAL
Menurut para ahli pengertian perkembangan sosial:
1.Menurut Plato
Adalah : Secara pontensi manusia dilahirkan
sebagai makhluk sosial.
2.Menurut Syamsuddin
Adalah :
Sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk
sosial.
Keterkaitan Perkembangan Sosial
Emosional Dengan Perkembangan Lainnya
Tampilan emosi
merupakan suatu bentuk komunikasi atau dengan kata lain ekspresi emosi memungkinkan anak bersosialisasi dalam suatu
lingkungan sosial yang di masukinya.
Bagi
seorang pembimbing dan orang tua sangat penting mengetahui
cara mudah untuk dapat mengenali gejala emosi dan perilaku sosial
anak serta dampak – dampaknya agar tindakan preventif dan
interventif dapat segera dilakukan jika di temukan hal – hal yang tidak sesuai
harapan (penyimpangan).
Kemampuan sederhana yang perlu
dikuasai oleh orang tua dan guru dalam
mengenali perilaku sosial emosional anak, kaitannya dengan
perkembangan fisik, mental, dan psikologi anak diantaranya adalah :
1.kemampuan mendekati anak dalam keadaan apapun
2.kemampuan mengamati atau mengobservasi berbagai karakter emosi dan
perilaku sosial anak
Bentuk-Bentuk Hubungan Sosial Emosional Dengan Fisik,
Mental, Dan Psikologis
Kemampuan
sosial emosional anak ternyata sangat erat kaitannya dengan
perkembangan fisik dan mental.Perubahan yang nyata akan berpengaruh atau menyebabkn perubahan
pada berbagai dimensi fisik.
Pengaruh emosi terhadap perubahan fisik :
Jenis Emosi
|
Perubahan Fisik
|
Marah
|
Peredaran
darah bertambah cepat
|
Terkejut
|
Denyut jantung
bertambah cepat
|
Kecewa
|
Bernapas
panjang
|
Sakit
|
Pupil mata membesar
|
Tegang
|
Air
liur mengering
|
Takut
|
Berdiri bulu roma
|
Menurut Hurlock dalam mengungkapkan berbagai kondisi yang
mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak menyebutkan 3 kondisi
utama yaitu :
1. Kondisi Fisik
Apabila kondisi keseimbangan
tubuh terganggu karena kelelahan maka mereka akan mengalami emosi yang
sangat meningkat.
a.Kesehatan yang buruk, disebabkan oleh gizi yang buruk, gangguan
pencernaan atau
penyakit.
b.Kondisiyang merangsang seperti
kaligata.
c.Setiap gangguan
kronis seperti asma atau penyakit kencing manis.
d.Perubahan
kelenjar, terutama pada masa puber.
2. Kondisi
psikologis
Kondisi psikologis dapat mempengaruhi emosi antara lain tingkat
inteligensi, tingkat aspirasi dan kecemasan.
Berikut adalah penjelasannya :
a.Intelektual yang buruk.
Anak yang tingkat intelektualnya rendah, rata rata mempunyai
pengendalian emosi
yang kurang dibandingkan dengan anak yang pandai
pada tingkat umur yang sama.
b.Kegagalan mencapai tingkatan aspirasi.
Kegagalan yang berulang–ulang dapat mengakibatkan timbulnya keadaan cemas
sedikit atau banyak.
c.Kecemasan.
Setelah pengalaman emosi tertentu yang sangat kuat,akan mengakibatkan anak takut kepada setiap
situasi yang dirasakan mengancam
3.Kondisi lingkungan
Ketegangan yang terus menerus, jadwal yang ketat, dan terlalu
banyaknya pengalaman menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan akan
berpengaruh pada emosi anak. Berikut penjelasannya :
a.
Ketegangan yang disebabkan oleh pertengkaran dan perselisihan
yang terus-menerus.
Pertengkaran atau perselisihan dalam konteks interaksi sosial
sebetulnya wajar,
tetapi jika terus menerus akan mengakibatkantimbulnya
emosi dan akibatnya merusak hubungan sosial yang wajar,kekesalan yang amat
kuat, akan menimbulkan keinginan anak melukai orang yang
berselisih dengannya, bahkan pada tingkatan pengendalian
emosi yang rendah, akan muncul keinginan membunuh.
b.
Ketegangan yang berlebihan serta disiplin yang otoriter.
Disiplin ini
apabila dipaksakan akan menimbulkan dampak buruk bagi pihak yang dikenalnya,
lama kelamaan akan timbul keinginan orang
tersebut untuk memberontak dan keluar dari aturan norma atau
aturan yang ada tersebut.
c.
Sikap orang tua yang selalu mencemaskan atau terlalu
melindungi.
Melindungi orang
yang sangat disayang itu baik, tetapi jika terlampau (over protective),
akan mengakibatkan penolakan dari orang yang disayangi
dan sesungguhnya sudah menjadi sifat yang alamiah bahwa manusia tidak mau
terlampau dilindungi dan diatur oleh pihak luar.
d.
Suasana otoriter di sekolah.
Guru yang terlalu
menuntut atau pekerjaan sekolah yang tidak sesuai dengan kemampuan anak akan
menimbulkan kemarahan. Kemudian anak pulang kerumah dalam keadaan kesal.
Penciptaan
Kondisi Ideal Bagi Pengembangan Sosial Emosional
Pada usia pra sekolah keadaan emosi anak penuh dengan ketidakseimbangan
karena anak –anak mudah keluar dari fokus dalam arti bahwa ia gampang terbawa
ledakan – ledakan emosi sangat menjadikan mereka sulit dibimbing dan diarahkan.
Untuk
memicu emosi anak dalam kehidupan sosial nya yang terpenting bagi
orang tua atau guru adalah dapat menyediakan kondisi ideal yang dapat
mengatasi berbagai hambatan perkembangan emosi maupun perilaku sosial
anak secara efektif .
Perkembangan
positif dalam konteks perkembangan emosi maksudnya adalah
mampu menciptakan dan menyediakan kondisi yang dapat menjamin
terkendalinya
ekspresi emosi dari setiap anak sehingga emosi anakterlindungi, lebih stabil dan seimbang serta wajar dalam tampilannya,sedangkan terkait dengan pengembangan dimensi sosial anak maksudnya
adalah anak mampu
melakukan interaksi sosial serta meningkatkan keterampilan
anak dalam bersosialisasi.
Hal
yang terpenting adalah perkembangan emosi dan sosial anak dapat saling terbangun secara utuh dalam suatu kondisi yang diciptakan seperti
disebutkan diatas
berbagai keadaan yang dapat merusak perkembangan
emosi dan sosial anak dapat di hindarkan.
4.
PERBEDAAN INDIVIDU
Pengertian Perbedaan Individu
Keunikan yang ada pada masing-masing
individu yang akan membedakan cara
berpikir,
berperasaan, dan bertindak. Tidak ada individu yang sama dengan individu
lain, sekalipun
kembar identik
Sumber Perbedaan Individu
a.
Faktor Bawaan
Yaitu
faktor-faktor biologis yang diturunkan melalui pewarisan genetik orang tuanya. Proses ini dimulai sejak masa
konsepsi (pembuahan), + 280 hari sebelum kelahiran. Pada masing-masing sel
reproduksi terdapat 23 pasang kromosom. Kromosom adalah partikel seperti benang
yang masing-masing di dalamnya terdapat untaian partikel yang sangat kecil (=
gen). Gen adalah pembawa ciri bawaan yang diwariskan orang tua kepada
keturunannya. Jumlah gen dalam genome (= kumpulan gen) sekitar 60.000 –
150.000. Masing-masing gen mengandung potensi ciri bawaan fisik dan mental.
Mempengaruhi: bentuk tubuh, kekuatan fisik, kecerdasan.
b.
Faktor Lingkungan
·
Status
Sosial Ekonomi Orang tua:
-
tingkat pendidikan orang tua
-
pekerjaan orang tua
-
penghasilan orang tua
Berimplikasi pada perbedaan
aspirasi orang tua terhadap pendidikan anak, aspirasi anak tehadap
pendidikannya, fasilitas yang diberikan pada anak, dan waktu yang disediakan
untuk anak-anaknya.
·
Pola
Asuh Orang tua.
-
Otoriter : menekankan pada pengawasan orang tua pada
anak untuk mendapatkan ketaatan atau kepatuhan. Ortu bersikap tegas, suka
menghukum, dan cenderung mengekang keinginan anak. Anak menjadi kurang
inisiatif, cenderung ragu, dan mudah
gugup.
Karena sering mendapat hukuman anak menjadi tidak disiplin dan nakal.
-
Permissive: ortu memberi kebebasan sebanyak mungkin kepada untuk
mengatur dirinya sendiri, anak tidak dituntut untuk bertanggungjawab, dan tidak
banyak dikontrol oleh ortu.
-
Authoritative: adanya hak dan
kewajiban ortu dan anak, yang berarti saling melengkapi, anak dilatih untuk
bertanggung jawab, dan menentukan perilakunya sendiri agar berdisiplin.
·
Budaya
-
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
-
sistem sosial: aktifitas dan tindakan berpola dari manusia dan
masyarakat
-
benda-benda hasil karya manusia
·
Urutan
Kelahiran
Disebabkan
oleh perbedaan perlakuan dari ortu maupun anggota
keluarga
lainnya terhadap anak.
Macam-macam Perbedaan Individu
a. Perbedaan
Jenis Kelamin dan Gender
Jenis kelamin mengacu pada
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Gender merupakan aspek psikososial
(dibangun secara sosial agama) antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender termasuk dalam
hal peran, tingkah laku, kecenderungan, sifat, dan atribut lain yang
menjelaskan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam kebudayaan yang
ada.
Perbedaan gender muncul dari
perbedaan cara dalam memperlakukan anak laki-laki dan perempuan yang dilakukan
secara terus menerus, diturunkan secara kultural, dan terinternalisasi menjadi
kepercayaan dari generasi ke generasi dan diyakini sebagai ideologi.
b. Perbedaan
Gender dan Prestasi di Kelas
Hampir tidak ada penelitian yang
membuktikan pengaruh perbedaan jenis kelamin sebagai penentu prestasi di kelas.
Perbedaan prestasi antara siswa laki-laki dan perempuan lebih disebabkan karena
faktor sosial dan kultural.
c. Perbedaan
Kemampuan
Kemampuan secara sederhana dapat
diartikan sebagai kecerdasan. Kemampuan umum didefinisikan sebagai prestasi
komparatif individu dalam berbagai tugas, termasuk memecahkan masalah dengan
waktu yang terbatas. Lebih jauh lagi kemampuan juga meliputi kapasitas individu
untuk memahami tugas, menemukan strategi pemecahan yang cocok, serta prestasi
individu dalam sebagian besar tugas-tugas belajar.
Perbedaan kecerdasan dapat
dipahami dari perbedaan skor IQ yang dihasilkan dari tes kecerdasan. Perbedaan
kecerdasan manusia mengikuti suatu distribusi normal, dari 0-200 dengan
rata-rata 100. Distribusi IQ yang digunakan menurut tabel yang dikembangkan
oleh Wechsler.
d.
Gifted
Adalah individu yang memiliki IQ
di atas 130, sekitar 1% dari populasi. Anak-anak gifted lebih banyak berasal
dari kelas sosial ekonomi yang tinggi. Sebagian besar sukses dan berprestasi.
Namun sebagian lagi terlibat dalam perkara kriminal, drop out dini dari
sekolah, atau gagal dalam beberapa pekerjaan. Hal ini disebabkan karena secara
emosional kurang matang atau kurang motivasi dibandingkan yang lain.
Menurut Renzulli ada tiga ciri
pokok anak gifted, yaitu:
ü
dapat
belajar ketrampilan praktis, membaca atau menghitung
Contohnya: sampai level kelas 6 SD,
tapi harus dididik di sekolah luar
biasa bukan sekolah umum
ü
dapat
mencapai ketrampilan sosial dan pekerjaan untuk pemeliharaan diri tapi
dilakukan dengan lamban.
ü
dapat
dibimbing untuk penyesuaian sosial.
ü
membutuhkan
dukungan dan bimbingan berkala saat mengalami tekanan ekonomi atau sosial yang
tidak biasa.
e. Perbedaan
Kepribadian
Model Big Five
-
Ekstroversion
-
Agreeableness
-
Conscientinousness
-
Neuroticism atau
sebaliknya stabilitas emosi
-
Openness to Experience
Model
Brigg-Myers (MBTI)
-
Ekstraversion
(E) vs Introversion (I)
-
Sensing
(S) vs Intuition (N)
-
Thinking
(T) vs Feeling (F)
-
Judging
(J) vs Perceptive (P)
f. Perbedaan
Gaya Belajar
Model
Feider & Solomon
ü Active
& Reflective Learners
Mendiskusikan, mengaplikasikan,
atau menjelaskan pengetahuannya pada orang lain. Memikirkan pengetahuan yang
didapatkannya “Coba dulu dan lihat hasilnya” “Mari pikirkan dahulu”. Belajar
dalam kelompok Belajar sendiri lebih tekun dalam menulis pelajaran Kurang tekun
dalam menulis pelajaran..
ü Sensing learner Intuitive learner
Suka mempelajari fakta Memilih
menemukan kemungkinan dan hubungan
menyukai
pemecahan masalah dengan menggunakan cara-cara yang sudah pasti, tidak menyukai
komplikasi dan kejutan menyukai inovasi dan tidak suka pengulangan.
ü Visual learner Verbal learner
Memiliki ingatan yang bagus
terhadap apa yang dilihatnya:
gambar, diagram, flow chart, film, dan peragaan. Mudah
mengingat kata-kata, baik tertulis maupun penjelasan lisan.
ü Sequential learner Global learner
Memahami melalui langkah-langkah
yang linier, setiap langkah mengikuti langkah sebelumnya secara logis belajar
melalui lompatan-lompatanbesar, menyerap info secara acak tanpa melihat
hubungannya dan tiba-tiba dapat menemukan hubungannya. mencari solusi dengan
mengikuti langkah-langkah yang logis. Mampu memecahkan masalah kompleks dengan
cepat atau mengumpulkan sesuatu secarabersama-sama dalam suatu cara yang baru,
tetapi mungkin mengalami kesulitan dalam
menjelaskannya.
5. SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS
Anak berkebutuhan
khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada
umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
Yang termasuk kedalam Anak berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan
prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak
berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik
dan hambatan yang dimilki Anak berkebutuhan khusus memerlukan bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka,
contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi
tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Gangguan Indra
Gangguan Penglihatan.
Beberapa murid mengalami problem penglihatan (visual) yang masih belum
diperbaiki. Tugas penting untuk mengajar anak yang menderita gangguan atau
kerusakan penglihatan ini adalah menentukan modalitas (berupa sentuhan atau
pendengaran) yang dengannya murid dapat belajar dengan baik.
Gangguan Pendengaran.
Banyak anak yang memiliki masalah pendengaran mendapatkan pengajaran tambahan
di luar kelas reguler. Pendekatan ini terdiri dari dua kategor pendekatan
pendidikan dalam membantu anak yang
mempunyai masalah pendengaran, yaitu: pendekatan oral, dengan menggunakan
metode membaca gerak bibir, speech reading, dan lainnya; pendekatan manual
adlah pendekatan dengan bahasa isyarat dan pengejaan jari (finger spelling).
Gangguan Fisik
Gangguan Ortopedik,
biasanya berupa keterbatasan gerak atau kurrang mampu mengontrol gerak karena
ada masalah di otot, tulang, atau sendi. Gangguan ini bisa disebabkan oleh
problem prenatal, maupun perinatal (menjelang atau sesudah kelahiran), atau
karena penyakit maupun kecelakaan saat anak-anak. Dengan bantuan alat adaptif
dan teknoloogi pengobatan, anak dengan gangguan ini bisa berfungsi noromal
dikelas (Boyles & Contadino, 1997).
Cerebral Palsy,
gangguan berupa lemahnya koordinasi otot, tubuh sangat lemah dan goyah
(shaking), atau bicaranya tidak jelas. Penyebab umunya adalah kekurangan
oksigen saat kelahiran. Komputer bisa membantu proses belajar anak yang terkena
gangguan ini (Keyboard, dan pena dengan cahaya sebagi pointer). Synthesizer
suara dan ucapan, papan komunikasii, serta peralatan talking notes dan page
turners dapat meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi.
Gangguan
Kejang-kejang. Epilepsi merupakan jenis gangguan lyang paling sering ditemukan,
dimana gangguan syaraf yang ditandai dengan serangan terhadap sensorimotor
(kejang-kejang). Disekolah guru harus lebih memberi perhatian kepada
murid-muridnya. Seorang anak yang banyak melamun bisa jadi merupakan tanda
epilepsi ringan.
Contoh
Kasus : Penggunaan Konsep Psikologi Pendidikan dalam dunia nyata.
Pendidikan
bagi anak yang berkebutuhan khusus.
Untuk mengatasi
permasalahan pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus, maka telah
disediakan berbagai bentuk layanan pendidikan (sekolah) bagi mereka. Pada
dasarnya sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus sama dengan sekolah
anak-anak pada umumnya. Namun kondisi dan karekteristik kelainan anak yang disandang
anak yang berkebutuhan khusus, maka sekolah bagi mereka di rancang secara
khusus sesuai dengan jenis dan karakteristik kelainannya. Sekolah untuk
anak-anak berkebutuhan khusus dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
Sekolah Luar Biasa
(SLB)
Yaitu sekolah yang di
rancang khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus dari satu jenis kelainan.
Di Indonesia kita mengenal bermacam-macam SLB,antara lain:
SLB bagian A (Khusus untuk anak Tuna netra)
SLB bagian B (Khusus untuk anak Tuna rungu)
SLB bagian C (Khusus untuk anak Tuna grahita)
Dalam satu unit SLB biasanya terdapat berbagai jenjang
pendidikan mulai dari SD,SMP, Hingga lanjutan.
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
Yaitu bentuk persekolahan (layanan pendidikan) bagi anak
berkebutuhan khusus hanya satu jenjang pendidikan SD. Selain itu siswa SDLB
tidak hanya terdiri dari satu jenis kelainan saja, tetapi bias dari berbagai
jenis kelainan. Misalkan dalam satu unit SDLB dapat menerima siswa tuna
netra,tuna rungu,tuna daksa,bahkan siswa autis.
Menurut Psikolog Klinis Adriana S Ginanjar.Anak yang
mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), ciri-cirinva antara
lain :
Tidak bisa memusatkan perhatian,Impulsif, dan hiperaktif.
Anak-anak semacam ini akan mudah bosan dan cenderung agresif.
Memiliki reaksi berlebihan terhadap frustasi.
Penerapannya :
Psikologi pendidikan adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi
yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal
sebagai berikut :
-
Penerapan prinsip-prinsip belajar
dalam kelas. Menilai belajar dan kebutuhan emosional dengan mengamati dan
konsultasi dengan tim multi-lembaga untuk memberikan saran tentang pendekatan
terbaik dan ketentuan untuk mendukung pembelajaran dan pengembangan.
-
Mengembangkan dan mendukung program
pengelolaan terapi dan perilaku.
-
Merancang dan mengembangkan kursus
untuk orang tua, guru dan lain-lain yang terlibat dengan pendidikan anak-anak
dan remaja pada topik-topik seperti bullying.
Merancang dan mengembangkan proyek-proyek yang melibatkan
anak-anak dan kaum muda.
-
Menulis laporan untuk membuat
rekomendasi formal tentang tindakan yang akan diambil, termasuk pernyataan
formal.
-
Menasihati, negosiasi, membujuk dan
mendukung guru, orang tua dan profesional pendidikan lainnya.
-
Menghadiri konferensi kasus yang
melibatkan tim multidisipliner tentang cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan
sosial, emosional, perilaku dan pembelajaran anak-anak dan kaum muda dalam
perawatan mereka.
DAFTAR ISTILAH
Ekstraversion : sikap atau tipe kepribadian
seseorang yang minatnya lebih mengarah kedalam luar
dan fenomena sosial daripada terhadap
dirinya dan pengalamannya sendiri
Agreeableness : ramah, memiliki kepribadian yang
selalu mengalah, menghindari konflik dan
memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang
lain.
Conscientinousness : menggambarkan perbedaan
keteraturan dan self discipline seseorang. Seseorang yang conscientious
memiliki nilai kebersihan dan ambisi, memiliki kontrol terhadap lingkungan
sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan
norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas.
Neuroticism :
menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti
rasa khawatir dan rasa tidak aman.
Openness to Experience : mudah
bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi, menjadi sangat fokus dan
mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas.
Otoriter : memusatkan kekuasaan, bertindak sewenang-wenang
Permissive : serba
membolehkan, suka mengizinkan
Authoritative :sumber yang berwenang,dengan cara memerintah
Preventif
: tindakan pencegahan
Interventif :
tindakan penanaman moral dan motivasi kepada anak
Over protective :
tindakan yang terlalu melindungi atau menjaga seseorang sehingga
membuat
orang tersebut merasa risih.